suara gemrising dari kamar diujung sana. pintu tertutup rapat,
sebuah alat pengepel lantai bertengger di depan pintu kamarnya, persis
di dekat sandal gunung yang biasa digunakannya pergi bermain, entah ke
warnet entah ke mana dan entah lah.
aku mengendap-endap. mencoba menilik ke sumber suara dimana suara gemerising itu berasal.
sekarang suara itu semakin kuat. semakin terasa di telingaku, suara itu
keluar melalui sela yang terhimpit lelubang pintu, entah juga melalui
lubang kunci, entah dari jendela kaca, yang tirainya adalah kain sepray
yang tergantung asal, kain sepray itu tergantung, barangkali maksud dari
penghuni kamar itu begini "dari pada tidak ada kain. ini mungkin sudah
lebih dari cukup"
'kuamati sandal gunung ini. sepasang.
artinya, hanya ada seorang di dalam. maka, semakin aku berhasrat ingin tahu. kali ini sengaja *tidak sopan.*
mohon maaf, benar sekali, kali ini aku sengaja tidak sopan. aku sengaja, sebab aku benar-benar ingin tahu.
'kuputar gagang pengunci pintu kamar itu.
asap menggumpal di sekeliling lampu di bawah flapon. di langit-langit.
yah, asap menggumpal.
seorang anak kecil, sendiri,tanpa teman, tanpa ibu, tanpa ayah
disampingnya. dia tersenyum. lantas "om..." sapanya kepadaku. sutil di
tangan kanannya meneteskan minyak di atas wajan yang asapnya, (kamu
pernah melihat asap yang membumbung di atas wajan disaat dimana minyak
goreng telah begitu matang? ) , nah, asapnya. begitulah yang aku lihat.
"lagi apa, bang?" tanyaku basa-basi.
"ini, om.., nggoreng" jawabnya sekenanya sembari menimpali dengan tawa "hehehehe" tanpa ekspresi.
lalu 'kulanjutkan lagi, "oh, goreng tempe?"
"hehehe.. iya, om." jawab anak itu lagi, sambil menggeser sedikit
kakinya. dia menggoreng dalam posisi seperti seorang ibu yang lelah
menopang tubuhnya karena lemak. lihatlah dia duduk persis dilantai
sejajar dengan kompor didepannya, dengan kaki kanannya dilipat dan
bertemu di paha kaki kirinya. di depannya, persis didekat kakinya yang
terlipat itu, sebuah piring dengan cairan berwarna putih.
"pakai apa itu, goreng tempenya?" tanyaku lagi sekedar ingin tahu.
"pakai tepung, om" jawabnya. tangan kirinya kini memegang serok jaring,
sementara tangan kanannya membolak-balik tempe diatas piring plastik
berwarna orens yang aku ceritakan tadi. tempat tepung yang digunakannya
untuk menggoreng tempe.
astaga, lihatlah! lihat!
tempenya
gosong. sejenak aku diam, tetapi mataku mengamati seisi kamar. terutama
asap itu terlihat betapa pekat membumbung di seputar lampu yang
menggantung di langit-langit tengah. oh, tidak, tidak. itu terlalu
*lebay.
tetapi, benar. benar sekali, asap dari kompor penggorengan terlihat mengambang di kamar ini.
"kecilkan apinya, bang!" saranku. kulihat asap cukup banyak keluar dari
wajan diatas kompornya. "lihat itu, minyaknya sudah terlalu matang,
jadi tempenya gosong, kan?"
"kecilkan! supaya tidak gosong!" saranku lagi.
maka dikecilkannya api kompor itu, tempe ditangannya dimasukkan kembali kedalam wajan.
wajan itu, astaga, lihat warnanya! hitam. hingga minyak di dalamnya, pun, terlihat hitam.
aku sering menyarankannya supaya, misalkan selalu mencucui piring yang
tidak lagi digunakan, mencuci wajan yang baru saja digunakan dan berminyak, menutup
makanan yang masih bisa dimakan. dan entah apa lagi. tetapi hanya
sebatas itu. sebagai teman. entah juga sebagai orang yang lebih mengerti
darinya.
sampai dia nyaris menyelesaikan tempenya, aku
menjejakkan kakiku kedalam. melihat isi kamarnya. melihat kamar
mandinya, tumpukan kain disamping meja yang tertumpuk asal-asalan diatas tas ransel, diatas meja terdapat sesisir pisang, 2 buah pisangnya terlihat sudah
membusuk, lalu kataku,
"pisang kamu ini, kan, banyak, dimakan donk, sayang busuk begini tidak dimakan."
"iya. om, " jawabnya. lalu melanjutkan kalimatnya dengan "besok mau digoreng, om."
"goreng pakai apa?" tanyaku penasaran.
"pakai itu" dia menunjuk ke sebuah plastik berwarna biru dibelakang pintu. mataku ke
bungkusan itu, sembari lamat-lamat menarik daun pintunya, merain bungkusan plastik yang dia tunjukan, lalu menilik isi didalamnya. tetapi tidak terlalu dalam aku membukanya. karenanya, meskipun aku tidak begitu yakin apa isi bungkusan itu,
tetapi aku mengerti apa yang dia maksud : tepung goreng.
"em.."
aku mencoba memahami. lalu, "tetapi ingat, ya, besok-besok kalau
masak-masak, buka pintunya! berbahaya kalau memasak pintunya ditutup.
lihat asapnya! lihatlah!" aku menunjuk ke langit-langit. matanya
mengikuti arah telunjukku.
"ngerih, kan? bahaya." kataku.
lantas aku pergi. sebentar, barang sejenak sembari menunggu dia selesai
menggoreng tempenya. hingga kemudian aku tidak lagi mendengar suara
gemrising lagi. berarti, dia sudah selesai menggoreng.
dan
benar. anak itu sudah selesai menggoreng. lalu aku kembali. kulihat, dia
memakan tempenya, yang dia ambil langsung dari serokan diatas tempat
penadah minyak sisa.
"loh, makan tempenya nggak pakai nasi?"
tanyaku. ada sedikit keprihatinan diahatiku melihat keadaanya itu. lantas aku lagi-lagi
sengaja *tidak sopan.*
aku masuk ke kamarnya, membuka
penutup penanak nasi (rais kuker) di samping meja. nasinya berkerak. oh,
bukan, bukan. bukan berkerak. barangkali yang lebih tepat adalah 'nasi
itu sudah menjadi kerak'
Ya, Tuhan. kasihan sekali dia.
(coba kamu pikir, apalagi yang bisa dimakan dari nasi kerak itu?)
tidak ada. hawa hangat sempat menendang wajahku sesaat 'kubuka penutup
penanak nasi itu. seperti biasanya, dia membiarkan kabel listrik penanak
nasinya terpancang di colokan listrik. barangkali maksudnya supaya nasi
didalamnya tetap hangat. tetapi yang terlihat adalah, nasi itu sekarang
terlihat menjadi kerak.
ah, aku nyaris menangis melihat ini.
anak sekecil itu, tidak ada teman, tidak ada ibu, tidak ada ayah. hanya
sendiri. seperti sebatang kara tanpa pendamping. tidur sendiri, juga
tanpa teman. sedih. tapi begitupun aku tidak melihat kesedihan diwajahnya,
tidak. bahkan dia tidak memperlihatkan keadaan dimana dia sedang
kesepian, dia tidak pernah memperlihatkan sedang mengalami kegalauan
hidup, apa lagi merasa sendiri, kecuali, ketika pagi selepas bangun
tidur, aku melihat dia menyeret kakinya melewati koridor, menuruni
tanggal lamat-lamat karena takut terjatuh.
kesedihan anak ini
benar-benar tidak lagi terlihat diwajahnya, bahkan ketika aku melihat
isi penanak nasinya, dia tidak sedikit pun menunjukkan kekuranganya, dia
hanya menimpali dengan sebuah kalimat *bohong* begini "tadi lupa masak,
om"
padahal bukan karena lupa memasak. (kamu sendiri sudah tahu
jawabannya). maka 'kulihat dengan mataku ini dia nyaris menghabiskan
tempe gorengnya, tanpa nasi, yang sebagian tempe gorengnya itu,
ditepiannya terlihat gosong, hitam, dia nyaris menghabiskan itu semua
dari atas serok jaring di atas penadah minyak sisa. melihat itu, aih,
...
aku lari kekamarku sembari teriak "sebentar, om, masih ada nasi..."
sekeluarnya aku dari kamar, kulihat dia membawa piring kaca. dia sudah
berdiri di depan pintu. "sedikit tidak apa-apa, kan? om makan nasi
sedikit, jadi masak nasi pun sedikit."
"iya, om" suaranya datar.
lalu keserok semua nasi dipanci ini, dan 'kuletakan di atas piringnya dan dia pun lalu menyeret kakinya ke kamarnya.
Renungan :
apa yang kamu rasakan jika kamu menjadi anak ini ?
jangan bilang kamu bahagia, aku saja tersesak dadaku melihat anak ini, konon lagi jika aku yang merasakannya.
4 komentar:
sedang pengen buat cerita fiksi, nyari2 referensi ketemu blog ini
saya agak lemah erutama dalam penyusunan dialog
ini fiksi?
hawa yang terbentuk kayak kisah nyata soalnya
ini memang kisah nyata.
ini kisah dua anak abang beradik yang ditinggal pisah kedua orangtuanya.
ibunya meninggalkan mereka pulang kampung ke kalimantan, ayahnya menikah lagi, dimana ibu tiri mereka tidak menerima keberadaan mereka dirumah.
untuk terlangsungnya hidup mereka, ayahnya menyewakan kamar kos disamping saya.
mereka harus masak sendiri, cuci baju sendiri, dan tidak bersekolah.
tetapi sekarang mereka dibawa kembali oleh ayahnya, untuk pindah kos karena ayahnya dipindahtugaskan.
perlu diketahui, mereka saban waktu hidup begini. perpindah satu tempat ke tempat yang lain.
Sungguh menyentuh hati pak.Saya terpikir kehidupan saya saat ini.Terkadang saya selalu lupa bersyukur :'(
Sungguh menyentuh hati pak.Saya terpikir kehidupan saya saat ini.Terkadang saya selalu lupa bersyukur :'(
Posting Komentar