(paragraf akhir bagian II) untuk itulah, aku setengah bingung dibuatnya. tanggapan wanita itu seperti seolah penolakan. Tapi aku sungguh heran, jika dia menolak kenapa dia bergeser seolah memberi ruang yang lebih luas kepadaku? sungut bathinku.
aku merunduk, kemudian. tepatnya setengah merunduk, dan berpura-pura mengawasi isi ranselku, padahal, (mohon jangan bilang siapa-siapa kalau sebenarnya) aku melirik di bagian pahanya. paha wanita bermata sipit di sampingku itu. syukurlah dia tidak melihat gelagatku. harus jujur 'kukatakan aku tidak sedang menikmati kulit pahanya. aku hanya mengamati sejenak sembari mencari secuil kesimpulan siapa sebenarnya orang ini. oh, barangkali pertanyaannya seperti ini : dari mana asal wanita sipit ini?
matanya, senyumnya, dan entah apa lagi yang melekat di tubuh gadis ini persis seperti pribumi. tapi, yah, aku masih ingat caranya menanggapi pertanyaaku tadi. ungkapannya asing, bahkan orang-orang dengan suku tionghua di Medan saja hampir alfa, tidak seperti itu.
apa hubungannya dengan suku tionghua? kenapa aku membawa-bawa nama suku disini?
singkat cerita, kurogoh ranselku, dikantong bagian kanan ranselku itu, biasanya aku menyimpan sesuatu yang kurang penting seperti : uang receh kembalian dari pembelianku di toko-toko atau dimana saja, kertas-kertas yang kurang beruntung, entah itu bon belanja, tiket bus entah juga tisyu bekas yang rugi untuk dibuang, sebab mungkin masih bisa digunakan untuk mengelap sesuatu yang kotor yang menempel disepatuku,--masih ada banyak benda-benda yang biasa 'kusimpan disana, seperti : penjepit kertas, peniti, kunci kamarku, sampai pada urusan mulut adalah permen kopiko, entah juga sekotak permen karet bermerek Happydent White.
dan selanjutnya, sekotak permen karet itu memang sudah aku persiapkan disana entah dari beberapa bulan yang lalu, --tapi jangan kamu katakan aku ini sembrono untuk urusan kesehatan, aku sangat peduli tentang itu. meskipun permen itu sudah terlalu lama disana, berdasarkan tanggal kadaluarsa yang pantas, maka tetap aku konsumsi.
lamat-lamat kubuka kotak permen itu, lalu "permen ?" kataku kepada gadis itu nadaku seperti bertanya. dia setengah melongo' sembari mengucap "hemm?" dengan nada tanya pula. dari reaksi wajahnya dia tampak ragu-ragu menerima tawaran kotak kecil dariku. mungkin maksudnya 'kenapa lelaki berambut gembel ini?'
tapi,
maka, sudah pasti dia juga kan tersenyum. Ya, Tuhan, lihat senyumnya! aku hampir gila mampus. dalam-dalam kuamati tangan kecilnya itu mengambil permen dari kotak kecil ditanganku, dan mengamatinya sesaat, mungkin dia masih berfikir entah apa. aku pun tidak mengerti. barangkali dia mengira aku terlalu ramah, terlalu baik. mungkin.
'kulanjutkan pertanyaanku "where are you from?" aku tidak yakin entah kalimatku sesuai atau tidak. tapi yang pasti dia menjawab "I am from Norwegia" sambil membuka pembungkus permen ditangannya. kata terakhir yang 'kudengar adalah "norwezia."
aku baru saja mendengar kata itu. pertama kali. tapi secepat kemudian aku jawab dengan kalimat singkat "oh, ya?" sambil bathinku tersungut-sungut 'dimana itu?' wajahku pura-pura pintar. padahal bathinku berkecamuk antara ingin bertanya lagi, tetapi dilain sisi, dikepalaku, muncul keraguan yang jika kusebutkan maknanya adalah 'aku tidak tahu' dimana tempat yang dia sebutkan. tapi, diam-diam aku cerdas juga. aku ingat kata depannya, "nor" dan petunjuk kata "zia" diakhir kata yang dia sebutkan tadi. dimana untuk pelafalan "G" dalam bahasa inggris adalah "Ji" maka kemudian tiba-tiba otakku cemerlang. lantas, dengan setengah bodoh 'kupertegas pemahaman yang 'kudapat dengan bertanya begini "Norwegia, Right ?"
"Yes" jawabnya. dengan senyum yang lancip terlihat diujung bibirnya. huhft.. aku suka senyum itu.
sebab, seperti yang aku katakan tadi, wanita disampingku itu, tidak sedikitpun keluar dari ke-ras-an mereka.
(aku meminta maaf dahulu sebelum kamu salah paham, aku tidak sedang bermaksud rasis. karenanya, seumpama ceritaku ini terdengar rasis, itu bukan tujuanku. aku hanya ingin menggambarkan seperti apa gadis disampingku ini, yang setengah menggoda mataku).
baiklah, mari aku lanjutkan.
tapi,
tapi, astaga, tangan kecilnya pelan-pelan tergegas. sesaat kemudian aku tersadar, bathinku tergegas pula memajukan tanganku lebih dekat kepadanya sembari kemudian mulutku yang kacau ini mengatakan "Candy" dengan nada cepat, dengan suara cempreng. secuil senyum kuberikan kepadanya.
***
Pukul 20 malam lebih 35 menit bus yang kami tumpangi baru
saja keluar dari area Bandara Kualanamu, --adalah Bandara, yang menurut sumber Wikipedia adalah Bandara terbesar kedua di negeri ini
setelah Bandara Sukarno-Hatta di Ibu Kota. Bandara Kualanamu, yang menurut
tempo.co terbitan Rabu, 11 September 2013 di bangun ditanah
seluas 1.365 hektar itu adalah pengganti dari
Bandara Polonia Medan, yang konon dipindahkan ke Deliserdang karena Bandara
Polonia tidak lagi kondusif, dimana Bandara Polonia berada ditengah-tengah kota
padat penghuni, semula ide pemindahan Bandara Polonia ini direncanakan tahun
1992, yang kemudian akan diawali pembangunannya pada 1 Agustus 1997. Tapi, tapi
sayang ketika itu negara, yang terdiri dari ribuan pulau ini sedang mengalami
krisis moneter hingga membuat rencana ini lesap, -hilang dibawa angin,
sementara para pejabat sibuk dengan urusannya sendiri dan kelompoknya hingga
kemudian negeri ini dilanda konflik. Pada konflik ini, seperti yang tersiarkan
di media memuncak pada 1998 dimana terjadi konflik luar biasa antara pemerintah
dengan para demonstrans. Entahlah, aku tidak kuat menceritakan kisah berkarat
ini, -lebih tepatnya aku tidak terlalu paham. Namun yang tertulis dalam sejarah
kekacauan ini kemudian membawa petaka terhadap kematian seorang aktivis hak
asasi kemanusian adalah Munir. Yah, Munir Said Thalib, yang meninggal pada 7
September 2004 dalam perjalanan dari Jakarta menuju Belanda, ia meninggal di
pesawat penumbang milik Garuda 974, hingga saat ini, kasusnya mengambang
diawan, hilang bagai kiamat.
Lantas, setelah peristiwa
demi peristiwa terlewati, peristiwa pilu kemudian terjadi lagi pada 5 September 2005 diatas udara Bandara
Polonia, sebuah pesawat komersil milik Mandala Airlines jatuh di atas rumah
penduduk dan terseret beberapa meter dari situ, suara dentuman kejatuhannya
hingga terdengar sampai rumahku, “Duuummm” asap pekat membumbung, menggumpal
dan pecah pudar diudara, dan menyisakan tangis-tangis pilu dari keluarga korban. Perlu saya sampaikan disini, salah seorang korban penumpang pesawat ini adalah
orang nomor satu di kota ini adalah Gubernur Sumatera Utara Tengku Rizal Nurdin. Maka
kejatuhan pesawat itu dijadikan hari berkabung bagi warga kota Medan yang kaya
akan buah durian.
Begitulah singkat sejarah
keberadaan Bandara Kualanamu ini, yang berdasarkan Wikipedia Bandara ini mulai dioperasikan pada 25 Juli 2013 meskipun
dalam keadaan belum sepenuhnya sempurna ketika itu, --tapi jangan kamu lihat
Bandara ini seperti yang dulu, kamu akan terkejut. Bandara ini begitu luas,
petugas bandara berseragam keren, tersedia hotel di dalam area serta jalur
lintas kereta api yang siap membawamu berlalu ke pusat kota Medan. Tapi kali
ini aku tidak menggunakannya, sebab malam tiba dan pada malam hari pelayanan
kereta api tidak lagi tersedia. Maka, perjalanan ke kota pusat yang paling
murah adalah dengan bus angkutan yang dipersiapkan khusus untuk para penumpang.
Seperti juga aku.
Kesampaianku di kota ini
sebenarnya terlambat. Sesuai jadwal semestinya kami harus terbang dari Jakarta
pukul 16.10 Wib, maka seharusnya aku sudah tiba pukul 18.30 petang. Tapi entah
kenapa penerbangan tertunda. Pesawatku –adalah Lion Air dengan kode pesawat JT
206 mengalami kendala yang entah apa. Para penumpang hanya diminta bersabar
tanpa pakai mencak-mencak. Maka demikianlah
jalan terbaik.
Kini, aku telah duduk
dibangku nomor 1 di samping wanita bermata sipit itu. Oh, ya, mungkin kamu lupa
nama wanita yang ‘kumaksud. Baiklah, ‘kusebutkan sekali lagi agar kamu ingat
siapa nama wanita cantik itu. Namanya Hang. Mungkin itu nama marganya,
entahlah, dia hanya menyebut satu kata itu saja pada saat ... upss... maaf, aku
lupa. Ya, aku benar-benar lupa. Terlalu bergairahnya aku hingga benar-benar lupa hendak menceritakan
perkenalan kami. Baik, Akan aku uraikan di bagian yang lain.
***
Selepas ia membuka kulit permen karet yang baru saja ‘kuberikan
padanya, sesaat kemudian aku datang dengan tanganku menjulur didepannya, persis didepannya. Lama-lamat dia pun menjabat tanganku lembut. Lalu “Oh, ya, I am Arman. What’s
your name?” Aku memperkenalkan diri.
“My name is Hang” Jawabnya sembari senyum simpul. Wajahnya
setengah serong kearah wajahku, begitu juga denganku. Aku melihat sikapnya
seperti malu-malu, padahal, sejujurnya aku yang terlihat amat malu sebab aku
bingung bagaimana kemudian aku memulai percakapan kami, --sementara penguasaan bahasa Inggrisku masih, ah, sudahlah. Aku yakin kamu tahu maksudaku, kan?. Maka lebih baik 'tak perlu 'kulanjutkan kalimatku ini.
Gerak-geriknya memaksa bathinku, --naluri kelakianku memaksaku untuk tidak lepas darinya. Maka 'kan kau lihat emosiku yang bergairah mengamati sikapnya. Sesaat, sembari memikirkan
pertanyaan apa yang harus aku mulai, aku memerhatikan jejari lentiknya sibuk melipat-lipat
pembungkus permen itu hingga mengecil menyerupai bulatan kelereng. Semakin lama
semakin mengecil dan terakhir ia memasukkan sampah itu kedalam anak ransel
yang dipangku di atas pahanya. Mode tas ransel kecil yang ia kegunakan itu sangat kuno jika dibanding dengan tas-tas ransel yang ada di pasaran di negeri ini, aku ingat modelnya mirip dengan model tas seorang teman sekelasku, yang dulu pernah membenciku bahkan setelah mengetahui isi hatiku kepadanya. Luar biasa. Tapi lupakan perempuan kurang beruntung itu, aku yakin dia menyesal telah menolakku bahkan setelah, yang seperti kata teman-temanku yang polos bahwa aku kini semakin tampan.
Mari kita lupakan perempuan kurang penting itu, aku hanya ingin menceritakan wanita disampingku.
Dia menutup rapat-rapat pahanya dengan tas ransel itu, dan menimpanya dengan kedua tangannya. Sementara mulutnya sedang sibuk mengunyah permen dimulutnya, aku, lagi-lagi bertanya dengan nada sok ramah begini :
"So, what
Dia menutup rapat-rapat pahanya dengan tas ransel itu, dan menimpanya dengan kedua tangannya. Sementara mulutnya sedang sibuk mengunyah permen dimulutnya, aku, lagi-lagi bertanya dengan nada sok ramah begini :
"So, what
Tidak ada komentar:
Posting Komentar