Senin, 09 Maret 2009

jeffry

Oleh A Lariflateen Syahrawi

Dia bersendawa. Dua kali. Bunyi suara sendawa yang keluar dari tenggorokkannya itu seperti bunyi mesin kereta yang meloncat-loncat berasap pekat. Sedikit pun ia tidak peduli. Dan, tanpa sungkan ia bersendawa lagi di tengah-tengah penumpang. Kali ini suara yang keluar lebih lantang dari sebelumnya. Rupa-rupanya ia tahu aku memerhatikannya dan karena itu ia tersenyum. Malu-malu.

Sesaat mataku lepas darinya dan menundukkan kepalaku dalam-dalam sekedar menghilangkan pusing di kepalaku. Tapi entah kenapa perasaan hatiku merasa rugi jika tak melihat anak itu. Ia masih kulihat tersenyum. Anak itu rupanya pemalu. Sejenak di tatapnya wajahku, dengan tetap tersenyum kecil tapi kemudian ia cepat-cepat toleh jauh kebelakang dan kemudian ke samping lewat kaca jendela angkot yang setangah menganga, di mana gedung-gedung bertingkat dua dan hingga lima yang bercat pudar di pinggiran jalan, wayar-wayar listrik yang semraut, pohon-pohon yang subur berdaun lebat dan yang kurus mau mati, tampak berlarian cepat kebelakang, dan kemudian menciut kecil.

Boleh jujur aku katakan, aku begitu penasaran melihat anak itu, dan lebih dari itu, aku ingin mengenal: namanya, tempat tinggalnya, berapa usianya, dan kelas berapa ia sekarang jika memang ia bersekolah, atau paling tidak kemana tujuannya hendak pergi bersama sepotong gitar berwarna biru keunguan mengkilat di tangannya.
Beberapa ratus meter kemudian, seorang penumpang di sampingnya turun, lalu beberapa meter setalah itu seorang penumpang, Bapak bertubuh makmur juga turun. Dan akhirnya, suasana di dalam angkot terasa nyaman dan santai. Kondisi itu tak bisa menghalangi niatku untuk mendekatinya, maka aku pun bergeser sedikit persis di samping anak laki-laki bertubuh pendek itu.

Tubuh anak laki-laki itu memanglah pendek. Sepintas aku melihat tubuhnya tak lebih sama dengan panjang gitar di tangannya. Kalau tak salah perkiraan, kemungkinan tinggi badannya hanya 100cm atau lebih sedikit saja. Dengan baju biru di tubuhnya ia tampak gelap karena kulitnya berwarna coklat, dan rambutnya, agaknya sedikit gondrong tersisir rapi kebelakang tampak berminyak. Dan karena panjang rambutnya itulah, kulihat ia tampak polos dan lucu. Dari sorot matanya ia tampak seperti anak yang baik hati, dan memanglah ia adalah anak yang baik hatinya. Jari-jemarinya berkuku pendek dan tampak sedikit gendut persis seperti perut dan lengannya yang montok itu. Bibirnya, pun tak kalah montok, dengan barisan gigi-giginya yang pendek kecil tampak tersusun rapi saat tersenyum.

Melihat gitar di tangannya, aku sudah yakin dan bahkan teramat yakin, bahwa anak berbaju biru tua itu adalah bagian dari puluhan, ratusan atau bahkan ribuan pengamen jalanan di kota Bapak Hasan Albana ini, seorang Bapak yang pernah membuatku terharu nyaris menangis karena Sampan Zulaiha[1]-nya. Untuk yang kesekian kalinya, kuperhatikan anak itu, kali ini lebih lekat. Senyumnya mengembang. Malu-malu ia pun tersenyum lagi, lalu ia petik senar gitarnya dengan jemarinya yang montok tadi. Dia bermain-main dengan gitarnya.
“Mau main di mana, dik?” tanyaku perlahan.
“Haaa…” sahut anak itu sembari mendongakkan kepalanya di wajahku.
Astaga, alangkah lucunya sikap anak itu. Ia jelas-jelas tak mendengarku hingga terpaksa aku harus mengulang kalimatku.
“Mau main di mana?” tanyaku lagi.
Sebenarnya itu bukan pertanyaan yang tepat. Mengingat apa yang aku perkirakan tentang anak itu adalah seorang pengamen jalanan, belumlah benar faktanya. Tapi itulah kekuranganku, atau bisakah disebut kelebihan, yang membuatku mudah menebak seseorang dari penampilan? Tapi sungguh, aku tak bermaksud sok tahu segala hal. Aku hanya mencoba mencari tahu dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkadang ganjil kepada orang-orang tertentu sudah pasti. Tapi, ternyata anak itu mengerti maksudku.
“Padang Bulan, bang.” Jawabnya, suatu kelurahan di kota Medan. Itu artinya, jawaban anak itu persis seperti apa yang aku perkirakan, bahwa anak itu benarlah seorang pengamen jalanan. Dan Padang Bulan, di tempat itu, persis di persimpangan antara Padang Bulan dan Pringgan, terdapat banyak pengamen yang tak pernah bosan mendendangkan lagu-lagu Top Ten dari angkutan ke angkutan yang antre di persimpangan, yang tak jarang dengan kostum yang tak bisa di katakan indah, compang-camping dengan tambalan di mana-mana, dan bibir, dan daun telinga bahkan hidung yang pesek dan atau yang mancung di tindik dan di pasang dengan aksesori-aksesori yang kurang sedap di pandang. Tapi belakangan, pengamen-pengamen bertampang semraut itu kini sudah lenyap di makan jaman. Kini, tak kulihat lagi pengamen-pengamen berpakaian bertambal, sekalipun pengamen berkuping tindik dan beranting cincin masihlah bertebaran di pinggiran jalan di atas trotoar persimpangan itu. Tapi…
Tapi kenapa semakin banyak pengamen di kota ini, dan di persimpangan itu juga? Ada pula pengamen-pengamen itu masih kecil dan bahkan dari mereka yang semestinya belajar dan bermain dan bukan mencari makan? Ah, anak-anak itu. Kemana orangtua mereka? Kemana Ayah-Ibunya?
Orangtua mereka kurang peduli. Sibuk mencari nafkah. Lupa pada anak. Lupa pada sekolah anak. Lupa pada usia mereka yang masih terlalu muda. Lupa pada cita-cita anak dan mungkin juga lupa semuanya. Maka anak-anak itu berlarian mencari senang dan lupa cita-cita, apalagi sekolah. Ah, anak-anak itu. Kasihan mereka.
Dan anak itu, anak berbaju biru yang duduk di sampingku tadi, masih memainkan gitarnya. Pelan-pelan. Kulihat bibirnya bergerak-gerak lirih, kemungkinan ia bernyanyi. Aku kagum melihat kelincahan jemari anak itu. Padahal, jemarinya tidaklah terlalu panjang. Tapi sungguh, sedikit pun tak kutemukan ia kesulitan menggapai-gapai setiap senar gitar di tangannya itu. Dengan gerakkan-gerakkan yang justru membuatku iri. Pasalnya aku tak mahir memainkan gitar, dan bahkan mempraktikkan bagaimana memetik senarnya saja aku teramat tolol. Memprihatinkan sekali bukan?
Anak itu membuatku terkagum-kagum dan menelan ludah. Siapa nama anak setengah montok itu?
“Jeffry.” Begitu katanya sesaat setelah kutanya namanya.
“Sekolah dimana?” tanyaku lagi.
“Nggak sekolah lagi.” Jawabnya enteng. Seenteng ia menyunggingkan senyum, seenteng ia memainkan gitar, dan seenteng ia menjawab “haa..” pada setiap pertanyaan-pertanyaanku. Tampaknya, anak itu mengalami sedikit gangguan pada telinganya. Entahlah.
“Belajar dimana main gitarnya?” tanyaku lagi sembari memerhatikan caranya memainkan gitar.
“Belajar sendiri.”
Oh, menakjubkan. Bagiku menakjubkan. Anak seusianya telah mahir bermain gitar tanpa harus mengikuti les musik, tanpa harus mengeluarkan banyak Rupiah untuk bisa memetik gitar seperti anak-anak orang kaya yang terobsesi ingin menjadi penyanyi terkenal. Luar biasa. Bagiku anak itu sangat luar biasa. Pasalnya aku telah mencoba belajar sendiri seperti halnya Jeffry, tapi hasilnya, olala, menjengkelkan sekali. Aku kerap merepet kala petikkan jemariku tak menghasilkan bunyi yang indah apalagi sedap terdengar di telinga. Tak pernah itu. Aku tak pernah berhasil melakukannya. Tapi Jeffry, anak laki-laki remaja berjemari pendek itu sudah dengan mahirnya memetik gitar dengan enteng hanya dengan belajar secara otodidak dan bahkan, di usianya yang masih teramat muda, jauh di bawah usiaku.
Perjalanan yang hendak kami tempuh masihlah jauh. Kebetulan, tempat tinggalku juga tak jauh dari Padang Bulan, tempat yang hendak di tuju anak itu. Jeffry, yang kemudian lebih sering memainkan gitarnya daripada berbicara denganku, semakin membuatku takjub, bangga, kasihan, dan iri. Takjub kerana Allah menunjukkan kepadaku anak manusia yang kreatif dengan usia yang begitu muda. Bangga, karena negari ini memiliki generasi yang kreatif dan pintar-pintar sekalipun gizi buruk dan kekurangan pangan dan gizi masih membahana di seantero negeri ini. Kasihan, karena ia tidak lagi bersekolah yang membuatku prihatin hendak kemana dan jadi apa ia kelak nanti. Dan iri karena ketidakberhasilanku dalam memainkan gitar seperti halnya Jefry.
Tak hanya aku barangkali, tapi siapapun yang melihat gerakan Jefry memetik gitarnya itu berdecak kagum. Terlebih seorang Ibu berwajah kampung yang lipstiknya terkelupas yang duduk di depan anak itu.
“Sekolah di mana kau, nak?” Ibu berlipstik itu bertanya kemudian.
Dan jawaban anak itu lebih kurang sama dengan ketika ia menjawab pertanyaanku tadi. Dan itulah yang di sesalkan. Tak sedikit anak-anak seperti Jefry yang bertebaran di kota ini, dan mungkin di kota-kota lain di belahan bumi di negeri ini. Tak sedikit. Banyak. Banyak sekali. Tapi yang lebih di sesalkan, orangtua mereka tidak terlalu peduli. Sibuk mencari receh yang tak pernah selesai bahkan hingga bumi retak dan terbelah. Orangtua mereka sibuk dengan urusan sendiri. Padahal anak-anak, terlebih mereka yang seusia dengan Jefry masih membutuhkan perhatian, dan tentu dari kedua orangtuanya. Mereka butuh motivasi dan dorongan. Mereka butuh contoh teladan dan pengarahan. Tapi sayang, tampaknya semua itu lewat dalam pikiran orangtua seperti orangtua Jefry, dan mungkin orangtua-orangtua yang lain.
Jefry tidak sekolah dan tidak ingin sekolah, tidak punya cita-cita, tidak ingin menjadi apapun dan lebih suka mengamen, lebih suka bernyanyi di pintu-pintu masuk angkutan kota yang sedang berhenti di persimpangan dan di depan para penumpang angkutan. Dia tidak bosan mengamen, dia bahagia, dia selalu tertawa.
Astaga, itulah yang sempat kurangkum dari jawaban-jawabannya ketika kutanya perihal dirinya. Dan aku merasa terpukul, sangat terpukul saat ia mulai bosan kutanya kenapa tidak ingin sekolah, tentang cita-citanya, tentang pendapatannya setiap hari mengamen, dan pertanyaan-pertanyaan lain. Padahal aku hanya ingin memberi dorongan dan motivasi. Tapi apa katanya? Olala, ia menjawab “capek, bang.”
Aku terhenyak “Capek? Capek kenapa?”
“Capek di tanyai malulu!” katanya spontan.
Olala, menyedihkan.

Medan, awal Maret 2009


[1] Cerpen Hasan Albana, Kompas edisi Minggu 15 Juni 2008

Tidak ada komentar: