Jumat, 12 Desember 2008

fanry

Oleh A ‘Lariflateen’ Syahrawi

Bahkan ia masih bingung, masih mencari jawaban dari pilihannya sendiri. Oh, aku ingat itu bukanlah pilihan hatinya. Ia sempat mengatakan itu kepadaku. Bahwa pilihan yang telah ia jalani saat ini adalah atas pilihan dari orangtuanya yang bijak, sekalipun bertentangan dengan kehendak hatinya. Pasalnya ia tak lagi memiliki pilihan lain, sekalipun ada, tapi ia lebih tak yakin pula dengan itu. Sayangnya ia hanya mendengar manisnya saja dari sesuatu yang mungkin dan atau tidak mungkin ia dapatkan nantinya, dari pilihan orangtuanya itu, sehingga ia harus berjuang dengan gigih untuk mendapatkan semua yang telah ia dengar.

Dia duduk di sampingku sekarang, di dalam bus yang sama dalam suatu perjalanan. Ia hendak menghadiri pesta pernikahan saudaranya di Kota Tigaraja, sedang aku hendak pulang ke kampung halaman di pedalaman kota Siantar yang terpencil dan tertinggal. Bayangkan, di tempat dimana aku di lahirkan, persisnya di ujung suatu kecamatan Raya Kahean, Sindaraya, dimana untuk menjangkaunya sudah pasti akan merasakan sakit pinggang, serta isi perut akan terkocok ngeri; jalan berbatu dan terjal, berliku-liku dan terdapat banyak jembatan yang di bangun apa adanya. Tempat tinggalku adalah suatu kelurahan yang paling pojok dan terasing. Sungguh, kampung halamanku adalah perkampungan yang unik yang mungkin tak akan dapat di temukan kampung yang serupa dengan kampung halamanku; seekor babi betina dengan belasan bayinya yang imut-imut, akan senantiasa lewat dengan angkuh seolah tak ingin tahu dengan apapun, itu adalah babi–babi yang lucu sekaligus bodoh. Lihat saja, induk dan bayi-bayinya kerap meninggalkan kotoran yang menjengkelkan itu dimana pun mereka lewat, dan bahkan di tempat dimana mereka mencari makan, lalu siapapun akan melihat betapa akrabnya beberapa ekor anjing; yang garang, yang lucu dan berbulu halus lagi cemerlang dan yang kurapan sekalipun, tampak dengan akrabnya bermain bersama ayam dan bayi-bayi babi di halaman sebuah gereja bercat kusam. Lihatlah cat kuning di dinding gereja itu tak lagi nyata, akan tetapi telah berubah menjadi kelabu kekuning-kuningan, memprihatinkan sekali. Tampaknya jajaran ke-pengurusan gereja setempat perlu membuat gebrakan baru. Bahkan, astaga, tak sebatang pohon pun yang tumbuh di pekarangan gereja itu sahingga menimbulkan suasana suram dan gersang, apalagi ketika musim kering yang menyengat. Entah karena tak kreatifnya pengurus-pengurus gereja di kampungku atau mungkin telah bosan dan marah dengan babi-babi yang tak bisa di atur, yang kerap menerjang tanaman-tanaman milik warga. Entahlah, dan tampaknya pemerintah setempat juga perlu membuat peraturan keras dan urgen kepada rakyatnya untuk tidak membiarkan babi-babi peliharaan berkeliaran di kampung. Tentu saja, untuk ide yang mustahil itu di butuhkan kerjasama antara pemerintah setempat dengan jajaran kepengurusan gereja agar tidak terjadi cekcok yang payah.

Baiklah, cukup sampai disitu saja cerita seputar kampung halamanku yang tidak mengenakkan, dan bahkan kalau mengetahui bahwa Ibu-Ibu yang suka menceritakan aib tetangganya sendiri seperti penjilat, mungkin yang mendengar cerita ini akan mendapat kutukan yang memusingkan. Serta Bapak-Bapak yang suka merokok sambil menggendong bayinya yang manis, serta melihat sesuatu yang memprihatinkan lagi: kantor kepala desa dengan dinding kayu yang telah lapuk, atap seng yang basi tapi indah (karena memakai desain adat batak yang sederhana) dengan sebongkah kayu yang di ukir seperti kepala kerbau dangan tanduk yang memikat tapi matanya menakutkan di ujung atapnya yang meruncing, dan plank kantor kepala desa yang membosankan dengan cat putih yang kumuh, alangkah menyedihkan, plank kantor kepala desa itu meninggalkan karat dimana-mana hingga noda karat itu lebih kental daripada tulisan pada plank itu. Dan tak jauh dari kantor kepala desa yang nyaris rubuh itu berdiri balai desa dengan jaring-jaring kawat sebagai dinding dan papan setinggi 1 meter dari bawah, yang sudah pasti reot di terjang bayi-bayi babi yang usil. Balai desa itu berdiri persis di atas tanah yang meruncing, maksudnya adalah tanah curam yang kerap longsor di makan erosi. Untung saja beberapa pohon sawit yang hampir mandul dan malas berbuah dan tentu saja sudah tua, tumbuh di tanah itu hingga mampu menahan kekuatan tanah. Sungguhlah, semua itu adalah cerita prihatin yang tak sedap yang telah aku katakan tak menarik untuk di ceritakan, sekalipun bintang hollywood singgah disana, sudah pasti cerita ini tetap tak akan menarik.

Aku prihatin melihat anak ini, sejenak setelah ia mengatakan bahwa apa yang ia jalani adalah pilihan orang tuanya, aku menoleh dimana ia duduk di sampingku. Lalu ia mengatakan begini, “Tidak terlalu sulit, akan tetapi tetap saja khawatir dengan pilihan orang tuaku ini,” ia berhenti sejenak. “Semoga saja aku beruntung.” Mendengar itu aku semakin prihatin.

Ohya, aku lupa, anak itu bernama Fanry, sebuah nama yang jarang dan tentu saja manis, sehingga aku mengulang sekali lagi namanya di saat setelah kami berjabat tangan, lalu ku tatap kulit tangan dan pipinya yang putih lagi bersih. Pantaslah itu, sebab ia duduk di bangku kuliah Akademi Keperawatan di sebuah intitusi pendidikan milik departemen kesehatan di Medan.

Dan aku sempat merandek ketika ia mengatakan kekhawatirannya tentang pendidikan yang ia jalani, ia mengatakan bahwa bidang yang ia jalani adalah sesuatu yang membuatnya resah, bahwa ia masih belum mengerti kemana ia akan pergi setelah lulus kuliah nanti. Karenanya ia sempat menanyakan kepadaku barangkali aku memiliki teman yang memiliki jurusan pendidikan yang sama dengannya, yang telah sukses dan berhasil tentunya. Dan kenyataan inilah yang masih membuatnya bingung. Dan sebagai pendengar yang budiman dan tentu saja sebagai teman yang baik, segera kuberikan sedikit dorongan atas ketidakyakinannya itu.

“Jangan takut, jurusan keperawatan juga menarik dan memiliki prosfek yang cerah. Lihat saja, banyak rumah sakit yang berdiri di kota ini,” kataku sekenanya, lalu aku menambahkan.

“Bahkan jurusan keperawatan banyak di butuhkan di Belanda atau di negara Eropa lainnya dengan gaji yang, wah, mahal. Siapa tahu nasibmu beruntung, kau bisa terbang kesana.”

“Itulah yang pernah di katakan orang tuaku dulu saat aku tidak lulus SPMB. Dan karena kabar itulah aku menetapkan pilihan orangtuaku ini.” Sekonyong ia membalas dengan mantap kata-kataku, padahal tahukah? Aku hanya mengatakan sesuatu yang aku sendiri tidak begitu mengerti suatu kebenarannya. Memang aku pernah mendengar kabar baik itu dulu dari temanku yang juga sama dengan bidang kejuruan yang ia jalani. Dan dia, Fanry, adalah teman yang baik, ia malah mengatakan betapa beruntungnya aku karena sebentar lagi aku akan selesai dari kuliahku yang panjang dan berliku. Sebab tahukah? Untuk menyelesaikan pendidikan S1-ku, aku butuh 6 tahun, bukan karena aku tulalit, akan tetapi karena kondisi ekonomiku yang miskin. Sehingga aku perlu berbagi dengan ke-5 adikku yang notabene perut dan kepalanya butuh di jejali makan dan sekolah. Sudah kukatakan, alangkah baik sekali anak yang bernama Fanry ini, ia selalu mengatakan ‘bagus’ sebagai suatu ungkapan positif dan mendukung setiap kali aku mengatakan rencana-rencanaku yang cemerlang, terlebih ketika aku mengatakan rencanaku untuk mencoba beasiswa S2 ke negeri Sakura, Jepang, bahkan ia pun mendukung pula kebiasaanku yang bertolak jauh dengan latar belakang pendidikanku, Sistem Informasi. Fanry mendukung sepenuhnya kegemaranku yang suka menulis. Ya, aku suka menulis, maka kukatakan kepadanya, “Aku ingin jadi tenaga pengajar yang pintar, penulis, dan menjadi sastrawan. Sebab profesi itu dapat di jalani sekaligus, dan tentu tidak membosankan.”

“Bagus.” Katanya untuk yang kesekian kali. Lalu ia menatapku, kemudian bungkam.

Ada sesuatu yang berat kulihat di matanya, yang membiaskan perasaan ragu di pipinya yang putih kemerah-merahan. Maka lihat matanya yang pintar, sungguh, ada secuil resah yang tampak di sembunyikan. Entah apa itu, mungkin suatu ke-khawatiran akan prosfek pendidikan yang ia jalani, sebab ia sempat dua kali bertanya kepadaku tentang bagaimana nasib temanku yang telah lulus dari pendidikan kesehatan yang aku terangkan tadi. Maka dengan menyesal kukatakan, “Kini temanku telah menjadi guru, guru ekonomi di kecamatan.” Sangat bertolak belakang. Dan tambah khawatir pula ia. Maka dengan tulus kukatakan lagi, “Dimanapun kita berada, kita akan mendapat jalan yang terbaik kalau kita mau berusaha, terkecuali kita hanya menunggu dan tetap berdiri di tempat. Dan berjuanglah, kamu akan berhasil. Percayalah!”

“Iya, terima kasih.” Katanya.

Tidak cukup sampai disitu, aku memberi banyak masukan untuknya yang mungkin bisa di pilihnya nanti kalau-kalau ia selesai dari perkuliahannya. Ia cukup menerima saran-saranku itu.

Sejenak percakapan kami yang penuh dengan ilmu ini terseka. Seorang kernet berbaju ungu yang membosankan mendatangi kami, menanyai satu persatu tujuan kami, selanjutnya kernet bertubuh tinggi dan buncit itu dengan kumis yang, aih, aku jengkel melihat kumis yang tebal dan tak rapi itu. Kernet bertubuh malas itupun mencoret-coret notes di tangannya, entahpun itu faktur atau bon, tak aku ambil pusing. Yang ada di kepalaku ‘semoga kernet ini tetap sehat dan makmur dengan tubuh yang membosankan itu.’ Dan untung saja ia cepat minggat, namun kemudian, tak jauh setelah bus yang kami tumpangi meninggalkan Terminal Amplas, satu kernet lagi datang dengan lembaran uang di tangannya. Kernet itu memintai ongkos para penumpang.

Setelah semua selesai; ongkos bus yang tiba-tiba saja naik dari minggu kemarin sudah kami bayarkan, barulah kami bisa tenang. Setidaknya tenang dari suasana bus yang tidak keruan. Bagaimana bisa petugas bus itu; supir dan kernetnya bersekongkol menaikan sewa ke dalam bus, sementar kondisi bus sudah nyaris tak memiliki cela sedikitpun, bahkan untuk menghela nafaspun sulitnya minta ampun. Alih-alih udara yang sejuk yang tehirup, tapi malah bau peluh dari perempuan yang duduk di bangku di depan kami, dan juga bau ketiak yang tak bisa di elakkan dari lelaki sok seksi dengan tank top berwarna gelapnya, lelaki itu berdiri persis satu meter di depan kami, sedihnya, bau tengik ompol anak-anak pun tak segera hengkang dari dalam bus yang semakin menambah puhing, eh pusing. Untuk melupakan suasana yang penat itu, aku mencoba meraih buku yang belum rampung aku baca di dalam tasku. Sebuah buku fiksi karangan ‘Gogol’. Adalah seorang sastrawan Rusia yang menyebut dirinya sebagai sastrawan beraliran Realisme Kritis yang hidup di tahun 1830-an. Di dalam bukuku itu ada lembaran-lembaran dari satu judul cerpenku yang hendak aku edit di kampungku nanti. Tapi sungguh, pekerjaan itu membuat rambutku rontok, maka lihatlah kepalaku yang malang ini, sungguh mengerikan jika di bandingkan dengan lelaki seusiaku.

Dengar! Ternyata anak ini, si Fanry tadi, selain dari wataknya yang bersahabat dan tentu saja ramah, ternyata ia juga rajin. Beberapa buku tersusun rapi di tangannya yang halus seperti perawat-perawat yang baik di rumah saki-rumah sakit. Sebelum aku menegurnya, ia sempat membaca buku di tangannya itu. Aku tidak bisa melihat dengan jelas judul buku yang sedang ia baca, namun yang jelas itu adalah buku tentang ke-dokteran. Mendapati semua yang aku lihat darinya, aku yakin dia anak yang pintar. Segera saja aku menanyakan suatu perkara tentang suatu penyakit mematikan, kanker, karena aku sangat ingin mengetahui tentang penyakit mengerikan itu. Luar biasa, jawaban yang ia utarakan membuatku puas. Ia menjawab dengan bijak dan tentu saja dengan perkara ilmu. Padahal ia mengaku tidak begitu faham dengan apa yang aku tanyakan. Tapi jelas, bahwa apa yang ia katakan masihlah masuk akal dan lumrah.

Namun, begitupun aku tetap menangkap suatu ke khawatiran yang begitu sulit di matanya, yang sengaja ia sembunyikan. Tapi bagaimana ia hendak keluar, sedang ia belum mendapatkan jalan, bahkan ia sendiri masih bingung seperti apa yang telah aku katakan semula. Dan itu semua aku lihat dari mata pintarnya. Padahal, style-nya yang lumayan berada; model topi yang elit, sepatu yang bercorak mewah, pakaiannya yang modis sekalipun kausnya biasa, tapi tetap saja terlihat bahwa ia dari keluarga yang punya, semua itu tak bisa menutup-nutupi keragu-raguannya. Ia masih di buru ketakutan dari sesuatu yang ia lalui saat ini. Adalah duduk di bangku perkulihan dengan jurusan yang menurutnya sulit untuk mendapatkan pekerjaan, yang memiliki prosfek yang tidak begitu baik (tentu bagi mereka yang tidak kreatif). Itu yang ia khawatirkan. Sejujurnya, ada sedikit kesamaan pendapat antara aku dan anak baik itu, si Fanry ini. Bahwa memang menjadi mahasiswa kesehatan tidaklah mudah, tidak seelit dengan hasilnya di belakang nanti. Buktikan saja, untuk masuk ke lembaga pendidikan kesehatan, kita sama-sama tahu tidaklah murah, butuh biaya mahal. Sedang hasil yang akan di dapatkan pun tidak sebanding dengan biaya yang telah di keluarkan. Pernyataan ini tidak hanya aku yang mengatakan, akan tetapi orang-orang pintar di negeri ini pun mengatakan hal yang menakutkan itu.

Aku ingat dengan tetanggaku, adalah teman yang telah aku terangkan tadi, aku ingat sekali bahwa orangtuanya yang kaya raya itu telah mengeluarkan berjuta-juta hanya untuk memasukkan temanku itu ke lembaga pendidikan yang lebih kurang sama dengan Fanry. Maaf aku belum menjelaskan bahwa temanku itu masuk bersamaan dengan kakak kandungnya, namun sayang tak satupun dari mereka yang bisa di katakan berhasil, satu dari mereka malah menjadi guru di kecamatan, sedang kakaknya yang pembangkang itu, dengar, kakaknya itu tidaklah menjadi apa-apa yang berharga selain Ibu rumah tangga yang suka memerintah. Kasihan sekali.

Memang, menjadi mahasiswa di bidang kesehatan sangatlah sulit. Sangat sulit. Sangat memprihatinkan. Bahkan bila di perkenankan aku mengatakan bahwa menjadi mahasiswa di bidang kesehatan itu menyedihkan. Teramat sangat. Bagaimana tidak, biaya yang telah di keluarkan yang begitu besar, di bayar dengan murah. Rasanya tidak perlu berterimkasih untuk hal yang murah itu. Menyedihkan bukan? Yang lebih pahit, kenapa pemerintah di negeri ini dan segenap yang bersangkutan tidak perduli dan acuh. Alih-alih memperhatikan nasib pekerja malang yang duduk di sana, malah memalingkan muka tak perduli yang tak berbeda dengan sikap yang mereka tunjukan kepada guru-guru yang baiknya tak bisa di tandingi. Maka tak heran masih ada saja unjukrasa dari segenap guru-guru yang merasa tidak di perhatikan.

Dan, sepertinya pemimpin di negeri ini harus merubah segalanya. Membungkus diskriminasi terhadap kaum yang kecil. Merubah apa saja yang memanyakitkan bagi banyak orang menjadi sesuatu yang menyenangkan dan terhormat, dan menyingkirkan ke-tidakadilan semisal, memperhatikan nasib-nasib guru yang perpotensi dan tentu saja kreatif, sebab tidak sedikit pula guru-guru yang mengatakan bahwa diri mereka berpengalaman, sedang untuk memberi pengertian kepada murid yang rusuh dan yang susah di atur dengan cara yang bijak saja tidak becus, serta membuat kebijakan searif mungkin terhadap rumah sakit-rumah sakit yang memberikan upah minim terhadap segenap karyawannya, mendengarkan keluhan para peneliti, memperhatikan nasib buruh yang tertekan dan kasihan, menundukan kepala kepada petugas-petugas kebersihan di jalan raya dan memperhatikan kondisi ekonominya yang payah, melibas habis para pencuri: pencuri kayu, pencuri minyak, pencuri tanah dan pulau, bahkan pencuri karya budaya yang tak bisa di sepelekan, dan satu hal lagi yang paling tidak bisa di tunda, bahkan sampai kepala botakpun, adalah generasi-generasi negeri ini yang pintar-pintarnya melebihi tukang sihir dan paranormal, dukun, ahli ekonomi, ahli matematika, ahli bumi, ahli racun dan ahli korupsi dan menipu sekalipun, untuk tidak menyia-nyiakan ke-jeniusan mereka. Bagaimana bisa negeri ini maju jika ahli matematika cilik, ahli kimia muda, atlet yang berprestasi, sastrawan dan seniman yang budiman dan berbakat, di biarkan mati, mati dalam arti tak sesungguhnya.

Maka yakinlah, segalanya akan berubah tanpa disangka-sangka. Maka percayalah, bahwa tidak akan ada lagi di negeri ini yang mengalami ke gelapan di malam-malam yang batu, akan terlihat oleh mata, puluhan, ratusan bahkan hingga jutaan ahli matematika cilik dengan muka yang mengesankan membuka matanya lebar-lebar di depan buku kumpulan rumus-rumus yang, aih, memusingkan, di bawah cahaya lampu yang cemerlang. Dan sudah bisa di pastikan akan lahir pula jutaan sastrawan dan novelis yang penuh dengan gagasan-gagasan yang cemerlang dan tentu saja imajinatif. Sebab bagaimana seorang novelis yang produktif dan aktif mampu menelurkan karya yang jempolan, sedang fasilitas lampu pun tidak terpenuhi, bahkan di waktu malam-malam yang manis.

***

Roda bus yang kami tumpangi telah merayap di bumi Serdang Bedagai, sebuah nama kabupaten di provinsi yang menakjubkan ini: ada banyak suku yang hidup berdampingan di setiap sudut-sudut desa, kota bahkan perkampungan kecil dan terpencil seperti kampung halamanku, adalah provinsi yang namanya memikat pula, Sumatera Utara. Dan roda bus yang kami tumpangi ini merangkak malas, persisnya di pasar Perbaungan. Sungguh, aku tak suka dengan tempat yang membosankan itu. Telah terjadi macat, yang, memang tidak begitu panjang, akan tetapi matahari di wajah langit mendelik dengan kejam hingga kulitku nyaris melepuh, dan peluh pun tak bisa di jinakkan.

Suatu pemandangan yang ironis terjadi di sisi jalan macat ini. Lihatlah, tampak beberapa Bapak-Bapak yang terhormat, Bapak polisi maksudnya, menghadang para pengendarai yang tidak tertib lalulintas, padahal segenap manajemen petugas-petugas terhormat itu telah berbuat yang terbaik dan tentu saja, dengan segala kemampuannya, tampak kerepotan oleh ulah pengendarai motor yang keliru, mengahadapi para pemakai jalan dengan senyum yang, aduhai. Sekalipun sama-sama kita ketahui tak jarang Bapak-Bapak yang baik itu mendorongkan perutnya yang gendut melebihi Ibu-Ibu hamil itu, yang bertugas di tengah-tengah kota ke hadapan pengendarai motor kala tertangkap basah tidak memakai helm, atau bahkan dengan pintil roda yang tidak berpenutup, yang ujung-ujungnya berakhir pada salam tempel sambil senyum mengatakan, “Pakai helmmu di lain kali!” Biasanya setelah itu para pengendarai-pengendarai motor yang gegabah itu akan berlalu dengan muka sadis dan dengki, dan sudah pasti sumpah serapah langsung muncrat dari mulut yang teledor.

Segala yang ku lihat hanya membuatku jengah, untuk apa aku harus pusing memikirkan ketidakjujuran itu? Dan rasanya tidur beberapa waktu di dalam bus itu lebih menyenangkan, terutama daripada harus menunggu pantat bus yang kami tumpangi ini bergeser. Dan setelah aku menutup mata, segalanya hilang. Segalanya lesap seperti angin pegunungan di mlam-malam yang suram. Kini berganti dengan ruang gelap yang berjalan lambat seperti langkah cacing, dan dalam tempo yang tak mampu ku perkirakan. Adalah ruang gelap yang biasa dalam mimpi-mimpiku yang tak menarik. Dan, sekalipun ke gelapan itu menjadi selimut tidurku yang seperti tidur kucing malas, tapi itu lebih baik dari pada aku harus mendengarkan celotehan seorang Ibu berrambut panjang yang di ikat satu yang berdiri di sampingku. Aku kesal dengan Ibu yang suaranya seperti pejual ikan laut di Pasar Sukaramai, sebuah pasar tradisional yang menjengkelkan di suatu kecamatan di kota Medan. Hati-hatilah, sebab siapapun yang hendak melewati pasar yang bau itu akan merasa mual dan muntah. Dan sekarang, alangkah kesal hatiku, rambut Ibu itu menggangu tidurku. Rambut Ibu bersuara keras itu menyapu mukaku tanpa ampun. Siapa yang tidak terganggu dengan itu? Dan akupun akhirnya membuka mataku dengan berat. Semula aku ingin memberikan tempat dudukku kepada Ibu itu, biar Ibu itu tenang dan puas, akan tetapi tempat yang menjadi tujuanku masihlah jauh.

Maka aku membuka mataku, melihat apa saja yang aku mau, melihat apa saja yang menarik mataku. Tampak orang berdesak-desakan sambil bergelantungan di tengah, berbincang tentang apa saja yang aku pun malas mendengarnya. Sesekali aku memutar kepalaku ke belakang seperti kepala burung hantu, melihat ke samping ke luar bus, melihat pohon-pohon sawit yang berbaris seperti berlari kebelang, semakin jauh semakin mengecil. Dan mataku tergelak di sini, di tubuh Fanry yang tertidur dengan damai dengan tumpukan buku yang masih melekat santun di tangannya. Sungguh, aku tertarik dengan buku itu. Kalau saja aku memilikinya, aku akan setiap hari membukanya di saat-saat kosongku bahkan di hari-hari yang basah membosankan, atau di hari hari yang kering, sembari memakan cemilan yang terbuat dari ubi. Adalah suatu hal yang nikmat. Aku katakan bahwa aku sangat tertarik dengan buku tebal yang melekat di tangan Fanry, begitu tertariknya aku hingga sedikitpun tak lekang tatapku dari situ. Pelan-pelan aku mengamati sampulnya saat dia tertidur. Ketiga buku itu: dua di antaranya berwarna merah, selebihnya hijau dan tebal. Sekali lagi aku mengamati sampul buku tebal itu yang berjudul: Ensiklopedia Kedokteran. Judul yang bagus dan tentu saja memikat, terutama bagi mereka yang memang duduk di bidang kesehatan dan sejenis dengan itu.

Perjalanan semakin sedikit mendaki. Pemandangan sawit pun perlahan berganti dengan lahan ubi yang tumbuh terawat di sisi-sisi rel kereta api, sebagian subur tapi sabagian hidup tanggung: antara subur dan cungkring atau antara hidup dan mati. Kasihan sekali. Dan pemandangan itu pun kemudian berubah lagi dengan lahan kosong yang luas, yang hanya terdapat tumpukan sisa-sisa kayu karet yang nyaris lenyap di lalap api, juga bertumpuk-tumpuk benih pohon karet yang hidup tersusun rapi. Sisi kiri jalan terlihat pohon-pohon karet muda, yang menurut perkiraanku baru saja di tanami. Dan kini bus telah sampai di ujung lahan kosong yang terik dekat perkampungan kecil. Di ujung perkampungan itu, persi di atas jalan beraspal, tertulis ‘Selamat Datang di Kabupaten Simalungun Jaya,’ di tubuh gapura dengan cat bercorak ulos batak yang kental. Dan lahan kosong itupun berganti dengan lahan karet milik perusahan besar, aku malas menyebut nama perusahaan perkebunan itu. Dan itu artinya, aku hampir sampai.

Fanry ternyata telah membuka matanya, merah. Iya tampak tenang, sekalipun aku lihat di wajahnya tampak seperti kelelahan, dan segera saja,

“Aku hampir sampai.” Kataku.

“Ohya, sudah dekat Siantar.” Katanya membalas. Sambil membetulkan posisi duduknya.

Aku memeriksa barang-barangku yang tak seberapa, yang sejujurnya tak sedap di sebutkan, hanya sebuah tas kumuh dan kacau, serta satu plastik asoy buah kuini untuk adikku di kampung. Kemudian aku terpaksa harus bergerak, hengkang dari tempat dudukku sebab kernet bermulut kejam di pintu belakang telah menyebut ‘Simpang Bandar Jambu, Simpang Timbangan’ yang tidak terlalu jauh dari kota Siantar. Di situlah aku hendak turun. Maka, persis ketika roda bus terhenti, aku siap turun. Seulas senyum ku berikan sebagai pertemuan yang menyenangkan, sebagai ucapan terima kasihku atas waktu untuk perbincangan yang menarik, atas sebuah persahabatan. Ya, persahabatan. Dan tak lupa kuucapakan.

“Yuk, aku turun.”

“Iya, hati-hati.” Katanya sambil senyum pula.

Sampai di luar, aku pun mengucapkan kepadanya suatu kalimat yang sangat menggugah, yang siapapun senang mendengarnya. Adalah sebuah kalimat menakjubkan,

“Good luck for you.” Kataku.

Medan, Oktober 2008.

Tidak ada komentar: