Minggu, 29 Maret 2009

Tanaman Keramat

Oleh A Lariflateen Syahrawi

Kampungku jauh dari kota. Berkilo-kilo jauhnya. Tentu bukanlah suatu tempat tinggal yang menyenangkan bagi kebanyakan orang yang sudah terbiasa hidup di perkotaan. Termasuk aku. Meskipun baru enam tahun aku tinggal di Kota Medan, tapi entah kenapa aku tak lagi berselera untuk tinggal dan menetap di kampung kelahiranku lagi. Entahlah. Mungkin saja karena infrastruktur jalanan menuju kampungku yang membuat aku malas, atau mungkin juga di karenakan karakter, sikap dan watak orang-orang di kampungku, yang… Ah, lupakan saja orang-orang kampung itu.
Dan jalan menuju kampungku tak bisa membuatku bangga, apalagi nyaman. Coba dengar sedikit saja ceritaku, bahwa batu-batu kerikil di setiap badan jalan, bermuka tajam dan cadas, yang berlompatan kesisi parit karena terkelupas dari aspal dan yang menganga sombong seperti wajah pemakaman nenekku tiga bulan lalu, yang kadang membuat ciut nyali supir-supir angkutan. Jalan menuju kampungku berliku-liku tak ubahnya seperti tubuh ular meliuk-liuk di tengah jalan. Ada belasan jembatan yang harus di lalui jika hendak menuju kampungku. Jembatan terbuat dari kayu yang siap-siap lapuk di gerus hujan dan panas setiap saat, dan tiang-tiangnya adalah bongkahan besi-besi kotor berkarat.
Hari ini hari sabtu. Dan pada hari itulah aku pulang kampung dan terpaksa, terpaksa melewati jembatan terkutuk itu, yang di setiap bibirnya terdapat lubang-lubang bekas patahan karena lapuk, hingga permukaan air yang jauh di bawah dasar sungai tampak mengerikan. Sangat mengerikan, seperti hendak menelan nyawaku. Dan begitulah seterusnya jika aku pulang kampung. Kalau tidak karena SMS dari kakakku yang bekerja di Penang, Malaysia, aku tidak akan pulang sampai, mungkin sampai ramadhan datang atau lebaran di awal syawal. Bukan karena aku tidak rindu kepada keluargaku, tapi karena kondisi jalan yang mengerikan seperti pemukiman dedemit jahat berwajah maut, dan mungkin juga karena karakter dan watak orang-orang kampungku itulah yang juga membuatku malas untuk pulang kampung dan tentu saja takut. Adalah SMS kakakku yang datang seminggu yang lalu:

Cepatlah kau plg. Tarik duit yg kkk kirim dan
bagi kepada Rona utk berobat Mak di kampung.
Kaki dan badan Mak membusuk.

Sender:
K’Mira
+60164963xxx

Mataku nyaris meloncat membaca SMS itu. Kaki dan badan Mak membusuk. Astaga. Apa yang terjadi? Aku tak mampu lagi berpikir dan hanya mematung di atas bangku plastik usang dan rapuh saat itu. Berkali-kali SMS itu aku baca. Kaki dan badan Mak membusuk. Aih, apa yang sedang di derita Ibuku? Jelas tak akan ada yang bisa menjawab kecuali aku harus pulang. Maka jadilah seminggu setalahnya, persis hari ini, hari Sabtu, aku berangkat siang hari setelah zuhur dari kota Medan dengan menumpang bus Intra sampai persimpangan masuk ke kampungku (yang berada persis di kaki bukit barisan Raya Kahean, sebuah Kecamatan di Kabupaten Simalungun, Pematang Siantar). Di persimpangan itu, adikku sudah menungguku dan tanpa banyak bicara segera saja kami meluncur dengan menggunakan motor dari persimpangan itu pulang ke rumah.
***
Sampai di rumah. Aku mengucap istigfar di hati melihat kondisi Ibuku, sambil mencium tangannya.
“Penyakit apa itu?” Tanyaku kemudian kepada adik perempuanku, Rona seperti berbisik.
Lalu dengan muka mencibir dan sinis Rona menjawab. “Entahlah. Mungkin di bikin-bikin orang.”
Di bikin-bikin orang? Bathinku lagi.
Memang menurut cerita adikku, bahwa Ayah kami dan juga adikku pernah bertengkar dengan tetangga dan istrinya karena persoalan karet dan pakaian, dan juga karena perbatasan tanah. Ayahku pernah memaki tetangga kami itu karena Ayahku tidak rela karet hasil keringatnya di cacah sedemikian rupa oleh tetangga kami itu, sedang seluruh kampung dan petani karet yang lain di sekitar kampungku tahu, bahwa karet Ayahku adalah karet jenis yang sama dengan karet petani yang lain, yang artinya juga sama dengan jenis karet milik tetangga kami itu, agen karet kecil yang sifat congkaknya telah di kenal oleh masyarakat di kampungku itu. Mereka sakit hati dan dendam, dan tetangga kami itu adalah agen karet kecil yang sangat licik akalnya, yang sering melakukan ketidakadilan kepada petani-petani karet yang lain. Padahal, mereka adalah kacung seorang tauke karet besar dan juga kikir. Belakangan terdengar kabar tauke karet itu tertangkap polisi kehutanan karena melakukan penebangan kayu hutan yang hidup di DAS (Daerah Aliran Sungai) tanpa ijin di dekat kampungnya sendiri.
Pertengkaran mulut pun kemudian terjadi lagi beberapa hari setelah itu. Tetangga kami itu marah-marah karena pakaian yang mereka bentangkan di pagar perbatasan antara tanah milik mereka dan milik kami di gigit dan di permainkan oleh sapi milik kami. Mereka meminta ganti atas pakaian itu tapi Ayahku tidak setuju sebab yang melakukannya adalah hewan dan bahkan tanpa di perintah.
Begitu juga seterusnya, istri tetangga kami itu, yang tubuhnya semakin melar dan tak berbentuk lagi persis seperti potongan gentong di samping rumahku karena terlalu banyaknya memakan lemak, ngomel-ngomel kepada adikku karena ayahku telah menanam dua pohon kelapa di perbatasan (yang menurutnya batas itu telah lewat dari perbatasan tanah milik kami).
Perlu di jelaskan disini. Tetangga kami itu adalah pendatang baru yang belum tahu asal-muasal terjadinya kampung itu (yang menurut Ayahku perkampungan itu dahulu adalah rawa yang angker dan terdapat banyak ular-ular jahat), dan Ayahku adalah orang tertua yang pernah tinggal di perkampungan itu (yang artinya Ayahku adalah salah seorang dari belasan orang yang mendirikan perkampungan itu hingga menjadi perkampungan yang ramai seperti saat ini), dan jelas Ayahku lebih tahu banyak cerita tentang perkampungan itu terlebih perbatasan tanah milik kami. Tapi dengan pongah istri tetanggaku itu di depan adikku berkata: “Bapak kau itu menanam pohon kelapa sudah memasuki tanah kami,”
Padahal jelas sudah bahwa Ayahku menanam pada perbatasan yang tepat. Dan itu adalah tanaman yang kedua kalinya. Tanaman pertama telah kering dan mati di siram minyak tanah oleh tetangga kami itu. Maka adikku tak lagi bisa berdiam-diam. Jadilah, adikku dan istri tetanggaku itu rebut. Saling maki, marah-marah, ngomel-ngomel, bentak-membentak, dan saling tuding, saling menyalahkan dan saling mencari selamat pada pertengkaran mulut pada saat itu. Akhirnya, tidak di nyana istri tetangga kami itu mengancam adikku, Ayahku dan termasuk keluarga kami dengan berteriak begini: “Jangan main-main kau dengan keluarga kami. Kau, Bapakmu, lihat saja nanti. Jangan main-main denganku! Lihat saja!”
Adikku pun diam.
***
Sebulan kemudian. Leher Ibuku berbintik-bintik dan gatal. Semula Ibuku, dan juga adikku mengira itu hanya alergi kulit dan atau penyakit gatal-gatal biasa. Tapi anehnya, hanya dalam tempo hitungan hari gatal-gatal itu semakin menjadi dan menjalar hingga ke setiap senti di tubuh Ibuku, dan bahkan lehernya, dan kedua kakinya, dan kedua sikunya, basah oleh cairan yang baunya minta ampun. Ibuku tak bisa bergerak leluasa seperti biasa. Di sisi-sisi bagian mata Ibuku, wajahnya, telinganya, berbintik-bintik hitam seperti kulit kodok yang sering ‘kudapati meloncat-loncat di samping kakus di belakang rumahku, dan bibirnya, dengar, dengar, bibir Ibuku kering dan bersisik bahkan setelah beberapa obat telah di berikan. Mantri di kampung dan juga bidan, dan juga dukun palsu yang telah bersekongkol dengan istrinya pun, telah di datangi tapi hasilnya, kulit Ibuku tak juga sembuh dari penyakit aneh itu dan semakin melepuh.
Mantri kampung, yang telah sering di panggil untuk mengobati orang-orang sakit di kampungku, juga kehabisan akal mengobati Ibuku karena penyakit itu tak kunjung menyusut kering. Sejenis obat modern bernama Nizora 5 berbentuk salep dan tablet pun telah di berikan untuk Ibuku oleh mantri kampung itu, tapi lagi-lagi membingungkan. Ibuku mulai stress menghadapi penyakitnya.
Terakhir kali mantri kampung itu datang ke rumah kami bukan untuk mengobati Ibuku tapi ternyata, coba dengar sepotong kalimat darinya yang bunyinya: “Bawa saja Mamak kalian ini ke dukun kampung yang jago!’
Astaga. Tidak di nyana seorang mantri juga percaya dengan perdukunan. Tapi… adikku pun kehabisan akal. Maka pergilah Ayah dan adikku ke rumah dukun kampung yang namanya tersohor dan hebat di daerah perkampungan tetangga yang tak jauh dari kampungku.
Sesampainya di sana. Ternyata Ibuku di santet. Ibuku berteriak kesakitan ketika tangan dukun bersuara lembut itu menekan betis Ibuku. Ternyata, setan berwajah hantu bersemayam di kedua kaki Ibuku. Ibuku terkena gadam[1]. Begitu kata dukun bersuara lembut itu kepada Ayah dan adikku.
“Mamak kalian ini, sakit di bikin tetangga kalian, anakku.” Kata dukun itu lagi.
“Tetangga kalian itu menanam sesuatu di depan dapur kalian. Kalau tanaman itu tidak segera di ambil, Mamak kalian ini tidak akan sembuh, dan lama-kelamaan Mamak kalian ini di bikin sinting. Dan kalau tidak di obati, Mamak kalian juga akan lewat.” Tambah dukun itu panjang.
Jadilah semua orang di rumahku pun geger termasuk aku karena tanaman yang di maksud dukun itu. Tanaman? Tanaman apa itu? Bathinku. Ah, makin pusing saja aku memikirkan itu, dan makin menumpuk pula pertanyaan di kepalaku. Lalu bagaimana mengangkat tanaman itu, dan apa isinya? Hanya dukun itu yang bisa melakukannya tapi tidak hari itu juga, melainkan Rabu malam, kata dukun itu.
***
Pukul sembilan malam persis 10 hari setelah aku kembali dari kampung, kakakku kembali mengirim SMS panjang ke handphoneku.

Dik, Kemarin Opung[2] itu sdh angkat tanaman org jahat,
di tanam dbwh meja didapur blkg. Isinya tnh pkuburan,
tali poncong, duri aren, pinang, kain batak, tulang ayam,
benang nilon, kain mrh, bunga mrh...
dan Mak juga sudah sembuh.

Sender:
K’Mira
+60164963xxx

Oh, ternyata, itulah isi tanaman keramat itu. Tanaman yang telah membuat tubuh Ibuku membusuk dan berbau. Lalu sejenak aku berpikir kenapa begitu jahatnya orang itu. Aih, sadis sekali pikirku.
Medan, Akhir Maret 2009


[1] Sejenis penyakit santet yang sering di gunakan orang untuk menyakiti orang lain dengan cara halus, dengan praktik perdukunan.
[2] Kakek (Nenek) dalam bahasa Batak Simalungun. (Panggilan sopan.kepada orang tua yang bukan saudara)

Tidak ada komentar: