Rabu, 12 November 2008

donat

Oleh A ‘Lariflateen’ Syahrawi

“Masih pagi kenapa melamun?”

Suasana kemudian pecah. Anggi mengenal suara santun itu. Tanpa harus banyak bergerak kemudian wajahnya menoleh ke sumber suara, namun tetap bergeming seolah tak ada yang menegurnya. Air mukanya gelap seolah menunjukkan kesedihan yang teramat. Tatapannya pun demikian dingin dan kosong.

“Dunia ini memang tidak adil,” akhirnya Anggi pun bersuara satelah beberapa saat bungkam, tapi kemudian ia sadar bahwa ia berbicara pada angin. Pemilik suara santun itu sudah lenyap, entah kemana. Ia lesap tanpa permisi, tanpa salam. Sepertinya pria itu hantu, tapi tidak demikian bagi Anggi, baginya lelaki itu adalah batu seperti yang di gerutukan.
“Dasar lelaki batu.” Kesal Anggi. Suasana pun kembali bungkam. Anggi lalu mencoba membuka lembaran buku bahasa Jepang di tangannya, lalu membaca satu persatu rangkaian huruf hiragana, katakana, dan kanji yang terangkai dalam untaian kalimat yang tidak di fahaminya. Ia hanya mengetahui huruf-hurufnya saja, tidak lebih. Kebiasaannya mempelajari bahasa Jepang berawal dari kehadiran Fahmi kepadanya yang secara tiba-tiba. Entahlah, ini suatu kejanggalan yang lucu menurutnya tentu saja. Sejauh ini ia tak pernah melihat lelaki batu itu berbicara kepada siapapun, hari-harinya diam. Kalaupun berpapasan dengan siswi lain, paling ajaib hanya tersenyum yang mirip senyum aktor-aktor Korea.

Disinilah tempatnya, di bawah pohon di samping gedung sekolah (yang aku sendiri tak mengenalnya, apalagi nama ilmiahnya yang memusingkan). Bentuk buah dan daunnya seperti buah melinjo, tapi, entahlah itu sejenis pohon apa dan bagaimana, dan rasanya tak penting untuk diceritakan. Anggi menyebut pohon itu dengan sebutan pohon sunyi, tapi terkadang pohon kasih, sebuah nama yang dibuat-buat dan tentu saja aneh, dan disinilah ia termenung, sendiri. Ia sering meratapi nasibnya yang menyedihkan disini. Pohon ini baginya adalah teman dan buahnya adalah bintang gemintang ketika malam. Beberapa menit lalu lelaki batu adalah Fahmi menegurnya disini, dan suara itu laksana lagu Mandarin yang sulit, ia menyukai itu. Anggi sangat mengharap lelaki batu itu tetap disini, menemaninya. Setidaknya menemani berbicara sekadar melepas resah. Anggi bosan berbicara sendiri, ia sudah lelah menangis, karena kemudian ia menyadari bahwa menangis bukanlah jalan terbaik, itu bodoh. Anggi telah banyak belajar bagaimana ia harus menahan tangis, bagaimana harus bersikap tegar, bagaimana menyembunyikan masalah-masalahnya dengan senyum, dan ia berhasil. Tetapi tidak di mata Fahmi. Fahmilah satu-satunya yang mengetahui siapa Anggi, sekalipun Anggi tak pernah bercerita.

“Ini untukmu,” suara Fahmi secara tiba-tiba. Sunyi pun kembali pecah. Sekonyong-konyong Anggi terbangun dari lamunannya. Ternyata ia baru sadar bahwa ia tidak sedang membaca, tapi melamun.

“Tak ada untungnya banyak melamun,” seru Fahmi lagi sambil mengutip buku Anggi yang terjatuh. Anggi menatap Fahmi dengan aneh. Lelaki batu ini selalu datang di saat-saat genting, di saat sunyi, bahkan di saat suasana riuh yang biasa dihari-harinya.

“Ambillah, ini untukmu!” kata Fahmi lagi, hingga membuat Anggi bingung. Sebuah kotak berbentuk kubus.

“Apa ini?” Anggi mencari-cari jawaban di mata Fahmi, tapi luput. Fahmi segera meluruskan tatapnya, dan sibuk mempermainkan buku bahasa Jepang tadi di atas jarinya seperti bola di tangan Beckam di sebuah iklan oli pelumas.

“Buka saja dulu!” seru Fahmi santai.

Anggi menatap Fahmi lagi. Fahmi juga sering memberi kejutan-kejutan disaat hatinya ingin tenang. Tapi anehnya kejutan-kejutan itu benar-benar membuatnya tenang, sekaligus melambung. Entah ini firasat apa. Cinta? O..o.., Anggi belum pernah jatuh cinta dan tidak faham tentang cinta. Di kepalanya cinta adalah donat, yang, ketika perutnya lapar di pagi hari donat itulah yang akan membuatnya kenyang. Terkadang cinta baginya adalah senyum. Di saat hatinya bingung memikirkan SPP yang menunggak, perutnya yang lapar, buku tulis yang hampir habis, buku pelajaran yang perlu di beli, senyumlah yang mampu membuatnya tetap bersemangat. Anehnya senyum itu tersungging di bibir merah Fahmi. Inikah tanda cinta? Anggi tidak mau terlalu gegabah menafsirkan itu cinta sebab Fahmi bukanlah orang sembarangan, Fahmi bukan lelaki kuno yang mudah mengatakan ‘Wo ai ni’ di depan umum ketika melihat mata wanita yang menawan. Oh, itu kekanak-kanakan dan bukanlah remaja yang santun. Remaja tak seharusnya terburu-buru menafsirkan sesuatu, bukan? Termasuk urusan cinta.

Anggi tidak mengerti Fahmi itu siapa. Ia tidak sehebat Mama Laurenc yang lihai meramalkan sesuatu, termasuk persaannya sendiri. Apalagi perlakuan Fahmi yang lebih kepadanya. Tapi satu hal yang membuatnya tak ragu, dan ia mengatakan ini aneh. Pasalnya banyak siswi-siswi cantik di sekolah ini yang: kaya, pintar, berwajah artis, manis, gaul, dan tentunya memeliki kelebihan dari segala hal, yang mendekati Fahmi dan berusaha mendapatkan perhatian lelaki batu itu, tapi tak satu pun yang berhasil. Malah mendekati Anggi yang tak bisa di sejajarkan dengan siswi-siswi lainnya dalam hal penampilan.

“Kenapa tidak di buka? Sejak tadi Aku melihat Kamu tetap disini tanpa ke kantin. Pastilah Kamu lapar.” Kata Fahmi, sebentuk perhatian yang romantis. Kata-kata Fahmi itu membuatnya menelan ludah. Suara santunnya itu menggaung dan menempel di daun-daun, lalu melambai hingga mengeluarkan gemuruh bayu yang lembut. Pagi ini benar-benar romantis, sekalipun mentari telah menunjukkan emosinya. Segera saja Anggi membuka kotak itu: donat.

“Kamu pasti lapar, kan?” tanya Fahmi yakin. Anggi hanya diam seolah mengiyakan. Seolah mengetahui maksud Anggi, Fahmi pun kemudian menoleh dengan tatapan yang dingin.

“Aku sering mendapatimu sendiri, dan selalu sendiri seolah dunia ini hanya milikmu sendiri. Kamu tak pernah berbagi sekalipun banyak masalah. Meski Aku bukan psikolog tapi aku tahu kamu punya masalah, berbagilah padaku! Mungkin aku bisa membantu.” Begitu kata Fahmi. Untuk sejenak Anggi tertegun, lalu dengan tanpa harus memikir kembali, Anggi mengulang kata-katanya beberapa waktu lalu.

“Dunia ini memang tidak adil,” seraya melanjutkan. “ Dunia sepertinya tidak faham dengan penghuninya, seperti halnya nasibku. Dunia sepertinya bungkam padahal kesulitan demi kesulitan melilitku. Dan aku tidak tahu sampai kapan aku akan tetap disini, mengenakan seragam ini. Mungkin sebulan lagi, atau bahkan mungkin 1 jam nanti aku akan keluar dari sekolah ini?”

“Maksudmu?” Fahmi tegang. Wajahnya padam, dan itu adalah ekspresi kesedihannya. Ia mencari jawaban di mata Anggi yang anggun tapi gelap, sekilas.

“Pagi tadi aku di panggil ke ruang tata usaha,” dengan ragu Anggi mengatakan “Pegawai TU bilang SPP-ku harus segera dilunasi. SPP-ku menunggak. Sudah lama, dan jika tidak segera kulunasi, kemungkinan…” Anggi berhenti sampai disitu. Dia malas melanjutkan. Toh kalau pun di lanjutkan ia tetap akan di keluarkan. Pasalnya tak ada lagi yang bisa di lakukan, sebab orang tuanya tak lagi memiliki uang lebih. Ayahnya sudah 3 bulan sakit-sakitan dan Ibunya hanya mampu memberi makan dirinya dan seorang adiknya tanpa ada makanan selingan apapun. Selingan itu di gantikan untuk biaya berobat Ayahnya dan itupun Ibunya harus bekerja rodi layaknya buruh-buruh pabrik perusahaan kejam. Pada kenyataannya Ibu Anggi bukanlah buruh tapi seorang penjahit yang jujur, dan sekarang bertugas rangkap menjadi pencuci. Tak jarang Anggi membantunya di rumah.

“Untuk itulah aku mengatakan dunia ini tidak adil. Tidak salah, kan?” lanjut Anggi. Untuk sejenak suasana patung. Lalu dengan bijak Anggi meneruskan.

“Rasanya tidaklah salah kalau aku mengatakan demikian. Buktinya di luar sana orang-orang dengan sombongnya menyia-nyiakan makanan tanpa menyentuhnya lagi, kemudian di buang percuma dengan alasan kenyang tapi tak pernah menyusun porsi terlebih dahulu. Orang-orang kaya membeli make up dan fashion untuk style dengan harga yang mungkin sama dengan harga kebutuhan keluargaku selama 2 bulan, atau mungkin lebih. Yang lebih menyedihkan banyak teman-teman kita yang tanpa takut dosa dan karma menyia-nyiakan kesempatan: sekolah di anggap mainan, jam belajar di isi dengan kongkow di arena bilyar dengan rokok di tangan. Mereka pun tak perduli dan tidak sensitif dengan kesulitan teman. Apa itu bukan kejam? Itukah yang di katakan adil? Bagiku tidak.”

Fahmi hanya diam sembari kepalanya mulai menyusun kata-kata yang bakal keluar sebagai bantahan. Tetapi di tempat yang paling jauh, di tempat yang sulit di mengerti kecuali hanya dengan bathin:hati, ia mengagumi wanita sederhana ini. Kata-katanya barusan adalah bukti kecerdasan dari seorang Anggi. Raut wajahnya bijaksana dan matanya memikat, tapi bolanya gelap. Sejujurnya ia tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat Anggi. Dunia ini tidaklah kejam, dunia ini ADIL. Hanya penghuninya saja yang kurang mampu menafsirkan makna hidup. Hidup adalah buah masa lalu. Seseorang tak akan pernah sakit jika ia menjaga kesehatan dengan hati-hati dan tidak sembarangan bertingkah, seorang anak remaja yang tak berdosa tak akan pernah mengidap HIV/AIDS jika orang tuanya tidak pernah selingkuh, seseorang tak akan pernah mengalami kemiskinan jika dari awal sungguh-sungguh dalam belajar dan bekerja, seorang pejabat tak akan pernah dilucuti jabatannya jika ia jujur dan tidak korupsi. Maka jangan pernah katakan dunia ini tidak adil. Setiap kejadian dan musibah ada sebab muasababnya. Tak akan ada asap jika korek tak di sentilkan. Begitulah hidup. Kalaupun seseorang mengalami kesulitan tidak selamanya Tuhan tidak perduli. Tuhan hanya ingin menguji kesabaran hambaNya. Dan yang terpenting Tuhan tak akan pernah salah menciptakan sesuatu sekalipun itu adalah suatu musibah. Tuhan hanya ingin memberi pelajaran bagi hambaNya sebagai bentuk ujian.

Semua itu sudah terangkai dengan sempurna di kepala Fahmi, terlalu sempurna hingga ia bingung mengatakannya. Dan sedemikian sempurnanya kata-kata di kepalanya itu ia hanya mampu mengatakan, “Jangan pernah lagi Kau katakan bahwa dunia ini kejam dan tidak adil,”

Anggi terperangah mendengar itu. Donat di depan mulutnya urung melompat ke dalam mulut, tapi kemudian donat nan lembut itu siap di kunyah atas permintaan Fahmi. Anggi tidak mengerti ungkapan lelaki batu itu adalah suatu permohonan atau suatu pernyataan biasa. Tapi Anggi menafsirkan itu adalah suatu permintaan yang memiliki makna tajam. Seolah kata-kata yang keluar dari mulut seorang pujangga kepada kekasihnya. Padahal Fahmi tidak sedang berpuisi, sebab Fahmi bukanlah Kahlil Gibran, bukan Andrea Hirata atau Hasan Albana yang populer dengan karya-karyanya. Yang ia tahu Fahmi adalah Fahmi. Lelaki remaja berfikiran dewasa yang pendiam layaknya batu, kemudian sanggup melunakkan hati perempuan-perempuan yang sedang puber dan ingusan, mungkin Anggi termasuk salah satunya. Kini ia serius dengan donatnya sambil mendengarkan Fahmi yang bijak dan yang aduhaaai… tampannya minta ampun. Kata-kata bijak pun keluar dari bibir makmur Fahmi yang berbunyi: “Dunia tidak pernah tidak adil, sesuatu hadir karena ada sebab muasababnya. Kumohon jangan pernah kau ucapkan lagi kata-kata itu!”

Lagi-lagi Anggi tidak mengerti itu permohonan dari seorang kekasih kepada kekasihnya atau hanya sekadar pernyataan biasa. Begitupun ia mencoba memahami. Dan Fahmi tidak hanya sampai disitu. Bahkan dengan bijak ia mengatakan sesuatu yang tidak di sangka-sangka. Dia tidak mengira Fahmi sehebat itu. Fahmi merangkai kata-kata sediplomatis seorang pejabat dan sesantun pendakwah kawakan yang sedang laris manis di stasion TV. Sungguh menakjubkan bathin Anggi kemudian. Sejak saat itu pandangan tentang Fahmi yang semula misterius dan penuh rahasia, pendiam, kini berubah. Yang lebih lucu tapi lumrah, Anggi mengatakan Fahmi laksana Abu Bakar Siddiq yang dermawan setelah ia mengetahui tunggakan SPP-nya telah dilunasi oleh lelaki batu itu dengan sembunyi-sembunyi. Sekonyong ia tak pernah lagi ketakutan, apalagi harus keluar dari sekolah ini. Demikian pun Anggi tidak terburu-buru menafsirkan perlakuan Fahmi adalah tanda cinta. Sebab sejauh ini Fahmi tidak pernah mengatakannya dan disini ia tetap bertahan dengan pendapatnya: Fahmi masih tetap batu.

Hari ini ada rapat OSIS, bukan meeting. Fahmi selaku ketua OSIS yang mengatakan begitu. Seorang anggota nyeletuk: “Rapat dengan meeting, kan, sama aja. Cuma…”

“Sama tapi beda.” Suatu bantahan yang aneh. Demikian pemikiran yang lain. Karena di mata mereka Fahmi tak lebih dari lelaki misterius yang aneh, kaku. Tapi di OSIS dia aktif dan memiliki gagasan-gagasan yang pintar. Tidak salah dia terpilih sebagai ketua. Lalu bantahan Fahmi membuat mata peserta rapat terperangah sekaligus tak percaya. Apalagi Fahmi mengatakan:

“Gunakanlah bahasa Indonesia yang baik. Meeting dan kata-kata asing hanya boleh di gunakan di luar, bukan di ruang OSIS. Kalau bukan kita yang memakai bahasa kita sendiri, lalu siapa lagi? Hargailah perjuangan dan keringat generasi tahun 28. Jepang tidak akan pernah sesukses sekarang hingga mampu memberikan beasiswa kepada pelajar-pelajar dunia kalau mereka tidak membudayakan bahasa mereka. Selama ini kita terjebak dengan ungkapan-ungkapan yang katanya gaul tapi tidak mendidik. Jadilah diri sendiri, jadilah generasi yang aktif yang Indonesiais.” Fahmi berhenti sejenak, ia meluruskan ketegangan lalu kembali melanjutkan, “Dan hari ini kita rapat dalam rangka merencanakan membuat lomba berdebat dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar tingkat SMA sekota Medan.”

Waw, hebbbat. Inilah pemimpin yang cerdas. Berjiwa patriotik dan berkebangsaan yang elit. Di luar generasi sibuk dan gila dengan sesuatu yang bernama ‘gaul’ sampai-sampai berpakaian kebablasan demi membela satu kata yang sama, ‘Gaul.’ Bahkan berbicara pun asal keluar tanpa memikirkan kaidah kebenaran dan kecocokannya, hingga ketika marah pun, kelamin terlontar sebagai makian yang renyah layaknya emping nikmat yang kaya akan zat kimia berbahaya misalnya, pormalin dan sejenisnya, dan bukan gizi semisal protein. Suatu kenyataan yang ironis dan membunuh.

Teng, rapat OSIS pun selesai. Semua anggota yang ada bubar, sibuk mencari makan, sibuk dengan hal-hal yang basi dan percuma. Tapi sebentar, Anggi tergelak mendengar suara yang begitu lembut, begitu santun dan tentunya ia mengenal dengan baik suara itu. Padahal kakinya telah menjejak pintu keluar. Ada hembus angin yang aneh bersamaan dengan suara yang romantisnya bukan main itu. Tak ada seorang pun yang tahu kecuali tirai berwarna lucu yang tergerai di jendela. Dan tiba-tiba suasana menjadi romantis. Fahmi menarik dengan lembut tangan Anggi dan berhenti persis di depan jendela. Ada debaran yang aneh di jantung Anggi, debaran yang sulit untuk di tafsirkan, sebab ini adalah sesuatu yang paling aneh di dalam hidupnya. Fahmi menggenggam dengan kasih tangan Anggi, adalah sesuatu yang langka bagi perempuan malang ini. Bulu kudunya meremang, hatinya mendidih, dan tiba-tiba, “Aku menyukai kamu, Anggi, sudah lama.” Kata Fahmi dalam bahasa Jerman. Kontan hatinya meledak. Mukanya merona merah. AdaAda aroma suka yang terlihat di bibir Anggi yang berbentuk. Bahkan semua itu: pengakuan Fahmi yang tabu baginya tapi romantis yang mampu membuatnya takjub, suasana yang berubah romantis, sentuhan tangan Fahmi yang lebutnya melebihi donat, semua itu membuatnya bingung bahkan untuk tersenyum pun tak mudah, sebab ia malu. Hatinya benar-benar merekah dan bahagianya bukan kepalang, dan lihatlah desah angin yang menyentak-nyentakkan tirai di jendela seolah menunjukkan kedengkian, seolah iri. Namun sayang, suasana yang langka dan romantis itu terpaksa terputus oleh bel tanda masuk. Mereka berakhir pada tatapan yang teramat lancip, yang hanya Tuhan dan mereka berdua yang tahu. Dan Anggi pun segera berlalu dengan girang yang tampak di sembunyikan. binar di matanya yang siapapun akan tahu itu adalah binar kebahagiaan.

***

Sepuluh hari setelah rapat keputusan lomba yang akan dilaksanakan OSIS disepakati, sekaligus di setujui oleh kepala sekolah, Fahmi absen. Belum terdengar kabar dari lelaki batu itu. Keabsenannya menjadi buah bibir di kelasnya dan Anggi pun semakin galau. Anggi merasa hari-harinya sekarang batu, sunyi. Tak ada lagi yang tersenyum kepadanya, tak ada lagi suara bariton dari bibir Fahmi layaknya suara orang dewasa yang berkarakter, dan suara itulah yang senantiasa membuatnya rindu, hingga kerinduan di hatinya berdarah-darah. (Suatu kerinduan yang berlebihan). Fahmi tak mengirim kabar, sekali pun kepada guru wali. Bahkan sampai hari ke-16 di bulan Oktober. Padahal lomba semakin dekat, brosur pun telah di sebar sementara dana yang terkumpul dari sponsor masih miskin. Beberapa peserta dari sekolah swasta yang gencar dan sekolah negeri yang terkenal plus-plus sebagian telah mendaftar. Apa yang akan terjadi pada sekolah ini; SMA Merah Putih, jika pada hari ‘h’ para peserta dari sekolah-sekolah lain mencemooh sekolah ini karena telah menebarkan kebohongan karena acara urung terlaksana. Membayangkan kengerian itu Anggi ingin lari saja, hatinya pun demikian perih, seperih luka sayat di jarinya kemarin pagi. Kini ia sendiri di bawah pohon sunyi. Hatinya benar-benar pecah dan tak tahu harus kemana, tak ada tempat untuk berbagi. Yang lebih membuatnya galau dan kacau, kondisi Ayahnya semakin sekarat. Seperti yang di jelaskan, bahwa hatinya pecah dan kepalanya nyaris retak sangking beratnya cobaan ini. Pikirannya seolah merapi, meletup-letup tapi itu perasaan sedih. Dia ingin menangis tapi malu pada diri sendiri sebab ia jarang menangis, nyaris tak pernah. Maka ia pun menangis di hati.

Di dalam kesedihannya ia teringat sesuatu: puisi. Serangkai puisi yang di tuliskan Fahmi untuknya di lembar pertama di dalam buku berjudul ‘Seri Makanan Favorit DONAT.’ Adalah sebuah buku yang di berikan Fahmi saat lelaki batu itu mengungkapkan perasaannya. Segera ia mengambil puisi itu di sakunya. Perlahan ia membuka kertas itu dan membacanya dalam hati.

Kalau saja Tuhan memberiku kesempatan untuk hidup

1000 tahun lagi, aku ingin membawamu ke lembah kasih yang

Biru. Dan di gisikannya akan kuteriakan kata-kata cinta pada

Pohon-pohon yang nyaris punah. Lalu ‘kan kutorehkan simbol-simbol

Cinta di setiap batu, hingga tak ‘kan ada yang mampu menghapusnya,

Kecuali Tuhan. Dan aku ingin…

Puisi berhenti sampai disitu. Anggi baru memahami puisi itu dangan baik. (Mengerti yang terlambat). Begitupun ia tak tahu harus berbuat apa, sebab Fahmi tak pernah memberitahukan keberadaannya, kecuali hanya menangis yang tampak di tahan. Entah firasat apa lagi ini dan mimpi apa pula ia semalam, sebuah kabar lagi mengejutkan dan nyaris mematikan yang datang dari rumahnya, sebuah kabar pilu, Ayah yang ia cintai, meninggal dunia. Anggi kontan terisak. Ia menangis.

***

Sebuah kotak kubus teronggok sepi di tangan Anggi di atas pangkuannya. Adalah sebuah kotak kubus biasa yang teramat menyentuh. Ia membuka kotak itu perlahan. Sesungguhnya, kotak itu untuk Fahmi, dengan kotak itu ia ingin mengatakan bahwa ia telah menjadi seorang perempuan yang benar-benar mandiri seperti apa yang di pintakan Fahmi melalui buku resep-resep donat. Bahwa dengan kotak itu pula ia sangat ingin mengatakan bahwa kotak berisi donat itu adalah buah tangannya sendiri, dan lebih dari itu, bahkan lebih lucu ia ingin menceritakan kisahnya saat-saat ia belajar meracik donat hingga 7 kali ia baru benar-benar berhasil membuat donat yang lembut dan nikmat, dan ia pun ingin mengatakan bahwa Fahmi telah memberikan insfirasi untuk donat-donatnya yang lucu hingga di minati banyak orang, laku di pasaran meskipun tak semewah dan seelit kue di gerai-gerai donat di tengah kota, tapi setidaknya hasil donat yang ia jual di warung-warung kelontong itu cukup untuk melunasi SPP-nya di setiap bulannya.

Dan saat ia terduduk sepi di bawah pohon sunyi itu, sesuatu menyentuh lubang hidungnya yang seperti wangi tubuh Fahmi.

“Kamu hanya akan mengingatkanku pada seseorang.” Seru Anggi kemudian sesaat setelah menoleh ke sosok di sampingnya.

“Fahmi, kan?” Tanya Surya meyakinkan. Kedatangannya di bawah pohon sunyi itu benar-benar seperti kedatangan Fahmi di kehidupan Anggi.

“Untuk itulah aku kesini.”

“Kamu tahu dimana dia?” Anggi tampak bersemangat, tapi tegang.

“Pihak sekolah memang sengaja menutup-nutupi keberadaan Fahmi, ini permintaanya. Kabar itupun sebenarnya baru sampai ke sekolah, keluarga Fahmi dengan sengaja menyembunyikannya. Sejak lama aku ingin mengatakannya padamu tapi Fahmi melarangku.”

Wajah Anggi semakin kecut dan suram. “Ada apa dengan dia?” tanyanya penasaran.

“Maafkan aku, Anggi. Sepertinya kamu memang harus tahu. Fahmi sakit parah. Dan…” sejenak Surya menatap Anggi dengan sedih, seolah merasakan kepiluan yang mendalam seperti apa yang di rasakan oleh Anggi. “Dan kondisinya menyedihkan. Ia mengidap HIV/AIDS sejak lahir yang tertular dari kedua orang tuanya.” Tambah Surya. Sesuatu kabar yang memilukan dan ngeri. Kali yang kedua Anggi menangis, pertama, ketika mendengar kabar kematian Ayahnya dan kini… Air mata pun mengalir tanpa diminta. Satu persatu bulir-bulir di matanya jatuh basah diatas kotak donat di tangannya.

Siang ini juga Anggi tak ingin menunda, ia tak ingin terlambat. Maka ia meminta Surya mengantarkannya ke rumah Fahmi di komplek perumahan cemara, suatu komplek perumahan mewah. Fahmi tinggal disana bersama nenek dan kakak laki-lakinya, Randy. Sesampainya.

Sebuah mobil jenazah terparkir senyap di depan rumah. Mendadak Anggi lemas seolah tulang-tulangnya rapuh dan tak akan pernah kembali normal. Sepertinya Anggi terlambat. Mobil jenazah itu kini dengan serunai yang meraung-raung seperti serunai kematian, semakin berbunyi semakin memilukan. Mobil jenazah itu kemudian meluncur perlahan melewati tubuh Anggi yang layu di samping Surya. Sungguh benar-benar terlambat. Seorang pria tampan dengan semburat yang nyaris sama dengan Fahmi menghampiri mereka.

“Apa yang telah terjadi, bang?” tanya Surya.

Pria itu adalah Randy, kakak Fahmi. Ia mengehela napas seperti menghempaskan sesuatu yang berat dan sulit. “Fahmi.” Katanya kemudian tanpa menjelaskan lebih. Kontan bulu kudu Anggi meremang dengan muka yang sulit untuk di jelaskan karena teramat menyedihkan, dan perlahan air matanya pun bercucuran. Maka, hatinya pun pilu yang teramat dalam.

Medan, pertengahan Agustus 2008

Tidak ada komentar: