Sabtu, 21 Agustus 2010

Seorang Anak Pemulung

Oleh Ikhsan Maulana

Pagi pukul 7.00 WIB seorang anak pemulung berdiri di tepi jalan di dekat sekolah. Selembar karung lusuh dan busuk di tangannya yang kumuh. Muka anak pemulung itu dekil, bajunya berwarna coklat pudar dan kakinya kotor, penampilannya semraut. Ia berdiri di sana memerhatikan anak-anak yang lain berlarian masuk ke dalam sekolah itu. Anak-anak sekolah itu datang dengan beragam kendaraan. Kebanyakan dari mereka bahkan datang diantar dengan mobil mewah oleh ayah, ibu, kakek, nenek atau mungkin supir pribadinya. Sedang yang lain datang dengan diantar orang tua atau siapa saja dengan mengendarai sepeda motor.
Walau sebagian dari anak-anak sekolah itu ada yang datang dengan berjalan kaki, tentu mereka lebih beruntung dari pada anak pemulung yang berdiri di tepi jalan itu. Dia belum bergegas dari tempatnya. Sampai suasana di depan sekolah itu menjadi sunyi ia baru bergerak menuju kemana kakinya ingin melangkah, menuju di mana sampah-sampah berharga terkumpul. Berharap hari ini ia pulang dengan isi karung yang penuh dengan barang-barang yang bisa ditukarkan dengan uang.
Setelah jauh melangkah, ia mendapati karung di pundaknya mulai penuh dengan sampah-sampah kotor berbau amis. Berbagai jenis sampai teronggok di dalam karungnya. Ada kaleng dari aluminium, kardus atau karton, plasik-plastik dan ratusan gelas-gelas plastik dari berbagai merek minuman instan.
Anak pemulung itu kembali, namun sebelum ia pulang, ia singgah di sekolah di mana ia berdiri pagi tadi, disana ia mengintip proses belajar mengajar, dan sesekali ia menuliskan beberapa hal yang disampaikan oleh guru yang mengajar di dalam kelas itu di atas kertas-kertas bekas.
Kalau saja ia sekolah kemungkinan ia duduk di kelas VII, namun karena kondisi ekonomi yang kurang mampu ia terpaksa putus sekolah ketika ia duduk di kelas 5 SD. Ia ingin sekali kembali bersekolah seperti anak-anak yang lain, tapi itu tidak mungkin ia dapatkan karena kondisi keuangan orang tuanya tidak cukup. Jangankan untuk sekolah, untuk makan saja sudah susah.
Ini adalah kali yang pertama ia mengintip proses belajar mengajar di sekolah ini. Dan lama kelamaan ini merasa tertarik dan ketagihan. Sampai akhirnya ia berencana untuk datang dan mengintip setiap pelajaran yang disampaikan oleh guru di sekolah itu.
Tidak tau bagaimana caranya ia masuk ke dalam lokasi sekolah itu. Tapi yang pasti ia sudah berdiri disamping gedung sekolah, dan dari tempatnya berdiri, ia mendengar dengan keras suara guru-guru yang sedang mengajar. Ia sangat tertarik dengan pelajaran IPS dan Matematika.
Di hari yang lain ia mengintip proses belajar mengajar di sekolah itu lagi, tapi ia mulai kesulitan, gerak-geriknya mulai diketahui oleh seorang laki-laki tinggi besar yang biasa mengenakan seragam putih biru lengkap dengan belati yang menggantung di pinggangnya. Ia mulai was-was, tetapi ia tetap semangat. Yang ia pikirkan hanya satu, ia ingin mendapatkan pelajaran dari sekolah itu meskipun dengan cara mencuri. Sekalipun ia adalah anak pemulung miskin dan tidak berpendidikan, ia mengetahui dengan sangat bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak terpuji. Ia sering mendengar dari orang-orang dewasa bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak bermoral. Ternyata ia juga pernah mendapatkan pernyataan itu di dalam buku PPKn yang pernah di dapatnya di sebuah tong sampah di depan rumah mewah yang biasa ia datangi pagi-pagi hari untuk mengutip butut di depan rumah mewah itu. Bahkan ia mengingatnya dengan jelas bahwa mencuri hukumannya adalah penjara atau denda uang dengan jumlah yang, jika rumahnya dan seisinya di jual tidak akan pernah cukup untuk menggantikannya. Maka di dalam hatinya ia berdoa semoga ia jauh dari perbuatan itu.
Lambat laun ia mulai pintar, ia mulai pintar berbicara, pintar dalam berdebat sekalipun dengan orang dewasa. Ia mulai mengenal dengan istilah korupsi, dan koruptor. Ia mengenal kata-kata itu dengan baik. Bahwa korupsi dan koruptornya adalah orang-orang yang suka mencuri. Mencuri milik negara, mencuri milik rakyat. Dan pejabat-pejabat itulah yang suka mencuri, mereka para koruptor itu. Dan ia pun kini membenci pejabat-pejabat itu. Entah siapa pun mereka.
Persis di hari kamis sore, ia pergi ke sebuah rumah. Ia mendapatkan alamat rumah itu dari buku PPKn yang ia dapat beberapa hari yang lalu. Semula ia tidak ingin mengembalikannya kepada pemiliknya, karena ia ingin tau banyak dari buku itu. Tapi ia betul, bahwa setiap barang berharga yang ia dapatkan tanpa sengaja, harus dikembalikan. Sesampainya di rumah itu, ia bertemu dengan seorang anak laki-laki yang bernama herman seperti nama yang tertulis di sampul buku di tangannya.
”Selamat sore.” Sapa anak pemulung itu kepada herman.
”Sore.”
”Ada perlu apa” kata herman.
”Ini, aku ingin mengembalikan buku ini kepada yang bernama Herman.”
”Apakah nama kamu Herman?” Tanya anak pemulung melanjutkan.
”Iya, benar.” Jawab Herman.
Segera anak pemulung itu memberikan buku di tangannya dengan perasaan berat. Sungguh ia merasa buku itu sangat berharga baginya. Terlalu berat ia memberikan buku itu karena ia merasa sangat penting. Tapi ternyata ia sangat bersyukur.
”Ambil saja buku itu. Ambil untuk kamu” kata Herman. Anak pemulung itu mengerutkan dahi. Ia merasa heran.
”Buku itu tidak berguna lagi.” kata Herman kemudian. Anak pemulung itu pun merasa senang. Tetapi di dalam hatinya ia merasa sedih, sebab Herman mengatakan bahwa buku itu tidak lagi berguna. Berbanding terbalik seperti apa yang ia pikirkan, buku itu teramat penting. Sangat berguna bagi.
”Ambil saja buku itu untuk kamu.” kata Herman menegaskan.
”Baiklah kalau begitu. Akan saya ambil buku ini. Terimakasih atas keikhlasannya. Saya pulang.” anak pemulung itu pun pamit.
”Iya.” Kata Herman mengangguk.
Anak pemulung itu pun bergegas pulang. Ia sangat senang bisa membawa pulang buku itu lagi, sekalipun ia juga merasa sedih dengan kata-kata Herman. Tapi, lupankan semua itu, ia tidak perduli. Yang penting baginya ia bisa belajar dengan buku itu.
***
Besoknya, sepulang mengutip sampah, ia singgah kembali kesekolah biasa di mana ia suka mengintip anak-anak sekolah itu belajar. Ia masuk dari tempat yang biasa pula. Tapi kali ini ia mulai gusar. Jantungnya berderbar-debar. Ia takut gerak geriknya di ketahui lelaki berseragam itu, yang kemudian ia ketahui lelaki berseragam itu bekerja sebagai satpam di sekolah itu.
Ia memasuki pekarangan sekolah itu dengan mengendap-endap. Pelan-pelan. Ia berjalan seperti cacing. Seperti seekor ular di semak-semak. Perlahan. Tapi sayang, kali ini ia tidak beruntung. Sesampainya di tempat biasa berdiri mengintip pelajaran, ia di sergah oleh satpam itu.
”Hooii..., ngapain kau disitu??” satpam itu dengan suara keras. Ia pun berlari pontang panting. Ia tidak sempat keluar dari tempat semula ia masuk. Sebab tembok yang harus ia lalui terlalu tinggi. Butuh waktu menjangkaunya. Jalan satu-satunya adalah berlari kebelakang. Ia pun berlari sekencang yang ia bisa. Satpam itu mengejarnya. Sambil mengejar satpam itu berteriak,
”Hooii, jangan lari.” teriak satpam itu berkali-kali. Suaranya yang keras membuat suasana berubah. Murid-murid yang mendengar suara satpam itu menoleh ke sumber suara. Sedang yang melihat peristiwa itu berlarian kesamping ingin melihat. Mereka berhimpitan di jendela.
Anak pemulung itu pun mulai terpojok. Ia mulai kehilangan arah. Ia kebingungan harus lari kemana, sebab pekarangan sekolah itu di tembok. Yang ia khawatirkan adalah dengan teriakat terakhir satpam itu.
”Maling..., Maling..., Ada maling... tangkap.” teriak satpam itu dengan kejam.
Ia merasa was-was. Ia sedih karena di teriaki maling. Padahal ia hanya ingin mengitip pelajaran murid-murid di sekolah ini. Ia makin terpojok. Dan di sudut sekolah ia pun tertangkap.
”Mau lari kemana kau.” sergah satpam itu dengan wajah bengis.
”Bukan, saya bukan maling.” kata anak pemulung itu.
”Ah...jadi kalau bukan maling kau siapa, heh?” satpam itu memotong.
”Saya bukan maling.”
”Plaakk...” satpam itu menampar pipi anak pemulung itu.
Anak pemulung itu kesakitan.
“Kalau kau ga ngaku, kami masukkan kau ke kantor polisi. Ayo... ngaku!” desak satpam itu kejam.
Tapi lagi-lagi anak pemulung itu hanya mengaku bahwa ia bukan maling.
Satpam itu tidak sabar. Ia menampar anak pemulung itu sekali lagi. Hingga bibir anak pemulung itu berdarah. ”Ayo, ikut aku ke kantor.”
”Jangan, aku bukan maling. Aku bukan maling.” rintih anak pemulung itu. Sedih.
Ia ditarik oleh satpam itu kekantor. Dan disana ia dihadapkan oleh kepala sekolah SMP di sekolah itu.
”Siapa kamu, nak? Apa yang kamu lakukan disini?” tanya Pak Kepsek menginterogasi.
”Sa..saya bukan maling, pak.” anak pemulung itu menjawab sesunggukan. Ia menangis sambil memegangi bibirnya yang berdarah.
”Lalu, apa yang kamu lakukan di sana?”
Anak pemulung itu masih diam. Ia masih sesunggukan. Ia ketakutan. Takut menjawab. Dan takut kepada satpam yang berdiri di sampingnya.
”Ayo, jawab!” desak satpam itu geram.
Lalu Pak Kepsek memberi aba-aba kepada satpam itu supaya kembali ke tempatnya. Dan selanjutnya Pak Kepsek itu bertanya lagi.
”Jangan menangis. Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di sampaing sana?”
Sambil terisak, anak pemulung itupun akhirnya menjawab.
”Saya.. saya... saya hanya mengintip murid-murid itu belajar, pak. Saya bukan maling... Saya bukan maling...” rintih anak itu sedih.
Pak Kepsek pun akhirnya tau. Ia terharu melihat anak itu. Sambil menepuk bahu anak pemulung itu, Pak Kepsek pun bertanya.
”Kamu ingin sekolah?”
”Iya, Pak, tapi orang tua saya tidak punya uang untuk menyekolahkan saya.” anak itu menyapu bibirnya yang berdarah.
”Baik, kalau kamu memang ingin bersekolah, besok kamu datang untuk mengikuti tes pelajaran Matematika dan beberapa pelajaran sosial. Jika kamu mampu menjawabnya, kamu akan bersekolah disini dengan tanpa biaya.”
Anak pemulung itu, tersipu. Ia kebingungan sekaligus senang.
”Benarkah ini, Pak?”
”Ya, benar. Datanglah besok pagi dengan pakaian bersih”.
”Baik, Pak, baik.” anak itu senang bukan kepalang. Lalu ia cium tangan Pak Kepsek itu.
Anak pemulung itupun keluar dari kantor Kepala sekolah sambil berlari. Ia berjingkrak jingkrak kegirangan.

Medan, 5 Agustus 2010

Ikhsan Maulana adalah siswa kelas VII-2 SMP NIS Medan

Tidak ada komentar: